Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang jaksa dibunuh di Kota Palu, Sulawesi Tengah, malam hari sepulang dari beribadat, Rabu pekan lalu. Pembunuhan diduga berkaitan dengan pekerjaannya sebagai jaksa penuntut umum. Barangkali sebuah pembalasan, sekaligus teror. Jaksa Ferry Silalahi, yang tewas diberondong peluru saat mengemudi mobil di samping istrinya malam itu, adalah penuntut beberapa perkara besar kasus narkoba, korupsi, dan juga kasus jaringan teroris bom Bali. Seorang tersangka baru saja ditangkap, sekarang ditahan berdasarkan Undang-Undang Antiterorisme, namun motifnya belum diungkap polisi.
Pembunuhan berencana adalah kejahatan berat, dan kejam. Ancaman hukumannya tinggi. Apalagi jika pem-bunuhan berdarah dingin yang direncanakan lebih dulu itu dilakukan terhadap pejabat penegak hukum. Mengejar serta menangkap komplotan pembunuhnya selekasnya dan mengganjar dengan hukuman setimpal jadi penting. Ini perlu untuk menunjukkan bahwa tidak seorang pun boleh dibiarkan begitu saja mencabut nyawa jaksa atau hakim karena tidak puas dengan tindakannya yang tegas dalam menjalankan tugas.
Tidak usah disisakan toleransi sedikit pun untuk tindak pidana seperti ini. Semua harus dibuat percaya bahwa yang jahat akan kualat dan pasti terjerat. Kalau tidak, dan orang merasa bahwa kejahatan ternyata bisa sukses dan beruntung, sistem keadilan bisa roboh dan kehidupan bermasyarakat bisa ikut berantakan bersamanya.
Pada mulanya kita amat terkejut, terguncang, mendengar berita pencegatan dan pemberondongan gaya gangster bayaran terhadap jaksa muda usia yang riwayat ketegasannya lebih dari sejawat lainnya itu. Beberapa saat kemudian keterkejutan membawa rasa tidak percaya. Inikah gerangan nasib yang akan menimpa setiap penuntut umum yang lumayan berani dan lurus dalam menangani perkara pidana? Rasa tidak percaya yang menyakitkan, yang melahirkan amarah.
Kemarahan bisa mendorong kita ke dua kemungkinan. Mungkin timbul dendam, lalu mencoba menyelesaikan dengan memikirkan pembalasan di luar jalur hukum. Mengatasi kejahatan dengan cara itu tak lain adalah kejahatan juga. Mungkin juga kita jadi panik, dirundung ketakutan oleh peristiwa mengerikan itu. Takut yang menaklukkan, sampai kita jera berpihak pada kebenaran dengan melawan yang salah. Kedua kemungkinan itu bukanlah pilihan yang tepat. Dendam dan takut tidak membuat hukum lebih kukuh. Jika dituruti, korupsi, peredaran narkoba, terorisme, yang pemberantasannya turut diusahakan oleh mendiang Jaksa Silalahi, bisa jadi lebih merajalela.
Ferry Silalahi tidak berniat jadi martir ketika ia dengan setia menjalankan peranannya sebagai jaksa. Jaksa adalah penuntut umum; umum di sini berarti publik, masyarakat. Setiap tindak kejahatan merugikan dan merusak keseimbangan masyarakat. Keseimbangan harus dipulihkan dengan menghukum yang bersalah. Jaksa menuntut di depan pengadilan mewakili kepentingan umum, diangkat dan disediakan negara sebagai pelindung atau pembela publik, untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu. Penuntut umum bukanlah sebuah pulau yang terpisah dari masyarakat.
Maka, lonceng kematian Jaksa Silalahi tidak berdentang untuk dirinya seorang atau keluarganya, tapi untuk kita semua. Kepergiannya tak terlepas dari kehilangan sebagian dari keseluruhan masyarakat. Salah satu tersangka pembunuhnya sudah tertangkap, moga-moga segalanya segera terbongkar. Apakah alasannya perkara korupsi, narkoba, terorisme, atau kasus kriminal yang sama sekali berbeda, yang penting semua harus diinsafkan bahwa mengancam penegak hukum dengan pembalasan maut tidak pernah akan berakhir dengan selamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo