Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Di Simpang Perjuangan

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang bijak mengatakan, merawat kekuasaan itu ibarat memegang burung: dicengkeram terlalu kuat malah mati, terlalu longgar akan terbang. Dalam petatah-petitih itu, Soeharto barangkali termasuk contoh yang pertama dan Megawati mungkin akan jadi contoh yang lainnya. Setidaknya begitulah kesan orang ramai yang rajin menyimak perkembangan jajak pendapat yang dianggap kredibel belakangan ini. Popularitas orang nomor satu Indonesia ini kelihatannya melorot terus. Yang cenderung menaik justru tingkat kekecewaan publik. Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah Mega itu telah terbukti dari anjloknya perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilihan para wakil rakyat di legislatif, 5 April lalu. Namun, sejauh mana hal ini akan berulang pada hasil pemungutan suara presiden nanti masih sulit diraba. Soalnya, pemilihan presiden langsung yang babak pertamanya akan dimulai 5 Juli nanti belum pernah dilakukan sebelumnya di negeri ini. Walhasil, ketepatan pantauan berbagai survei yang dilakukan memang masih belum teruji. Namun, terlepas dari tepat atau tidaknya penelitian tentang pendapat masyarakat itu, nuansa kecemasan keras terpancar dari kubu penyokong Presiden Mega. Bahkan pertikaian antara para pendukung dalam menentukan pilihan strategi mempertahankan dukungan rakyat juga cukup nyaring terdengar. Wajar jika gerak kampanye partai berlambang moncong putih ini pun lantas seperti kehilangan arah. Ini bukan hal aneh dan tak perlu disimpulkan sebagai bunyi lonceng kematian. Para penyusun siasat di kandang banteng memang sedang menanggalkan strategi yang selama ini dipakai dan mencoba merumuskan yang baru. Strategi lama, yang mengandalkan kekuatan birokrasi di pusat ataupun daerah dengan amunisi kekuatan modal yang besar, telah terbukti majal. Cara yang sangat ampuh digunakan di era Orde Baru itu tak mempan lagi. Maklum, kombinasi represi dan kooptasi yang pernah dimainkan rezim Soeharto dengan piawai kini tak dapat diulang sepenuhnya di era demokratis seperti sekarang ini. Menawarkan banyak madu tanpa kekuatan pemukul bagi yang menolak, apalagi diiringi dengan kecurigaan pengumpulan sumber daya dilakukan dalam suasana yang korup, justru menerbitkan antipati di kalangan masyarakat. Dalam hal ini, PDIP ibarat badan usaha milik negara yang terbiasa memegang monopoli dan tiba-tiba harus bersaing normal dengan banyak perusahaan swasta. Tentu babak-belur. Sebenarnya tak semua pasangan pesaing berada di atas Mega dan Hasyim Muzadi dalam urutan popularitas di berbagai jajak pendapat. Dari lima pasangan yang bertarung, peluang sang juara bertahan kira-kira berada di posisi tengah. Artinya, kalau ingin menang, harus berjuang ekstrakeras dan tak perlu patah arang karena bukannya tanpa harapan. Bahkan, jika dibandingkan dengan yang lain, Presiden Mega sebenarnya memiliki posisi yang menguntungkan karena sedang berkuasa. Dengan posisi seperti ini, Presiden Mega punya keunikan karena sebenarnya tak perlu mengobral janji, tapi berpeluang memberikan bukti sebelum rakyat menentukan pilihannya. Masih ada waktu hampir sebulan untuk mengambil berbagai keputusan penting yang akan merebut simpati para pemilih. Misalnya saja dengan merombak kabinet, menyisihkan pejabat yang kinerjanya parah atau bercitra korup, lantas menggantinya dengan sosok-sosok yang dikenal berkompeten dan?ini yang paling penting?dikenal berintegritas tinggi. Ketimbang mengambil cuti dan berkampanye jual kecap?yang menghabiskan banyak biaya, tenaga, dan belum tentu menghasilkan simpati?Presiden Mega sebenarnya akan lebih dipercaya jika menggunakan sisa masa jabatannya untuk bekerja keras membuat pemerintahannya lebih bersih, berwibawa, dan efektif. Menangkap pejabat tinggi dan pengusaha besar yang terlibat korupsi adalah sebuah cara kampanye yang terbukti sangat efektif ketika dilakukan Perdana Menteri Jepang ataupun Malaysia menjelang pemilihan umum mereka baru-baru ini. Tak ada alasan untuk meragukan efek yang sama akan terjadi pula jika dilakukan di Indonesia. Sebaliknya, jika Presiden Mega justru terkesan banyak absen dalam tugas utamanya karena sibuk berkampanye, kesan pemerintahannya terbengkalai akan semakin menjadi-jadi saat rakyat mencoblos pilihan mereka di tempat-tempat pemungutan suara. Janji-janji yang diobral tentang niat membangun pemerintahan yang kuat, bersih, dan efektif juga akan terdengar bagai kentongan tong kosong. Bagaimana rakyat bisa percaya terhadap janji-janji itu bila kenyataannya pemerintah Mega di masa pemilu justru sedang sangat amburadul. Ribuan orang memang tetap akan datang membeludak ke tempat-tempat kampanye jika musik dangdut dengan penyanyi populer beraksi, tapi yang akan didapat adalah massa yang berjoget dan bukan pilihan mereka di kotak suara. Rakyat umumnya hanya akan memilih kembali presiden yang telah terbukti mampu membangun pemerintahan yang bersih, efektif, dan selalu berjuang untuk kepentingan bangsa. Presiden Mega masih punya waktu sedikit untuk setidaknya menunjukkan kesungguhan pemerintahannya di jalur ini. Sekaranglah saatnya menunjukkan bahwa ia sedang tidak berada di simpang perjuangan. Sekarang waktunya unjuk bukti bahwa ia layak dipilih kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus