Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ancaman Laten Primordialisme

Seno Gumira Ajidarma mengingatkan soal ancaman laten primordialisme, mengingat konflik antar-kelompok suku masih terjadi belakangan ini.

12 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Konflik antar-kelompok suku masih terjadi belakangan ini.

  • Argumen kesukuan ini masih berfungsi untuk membuat manusia saling bunuh.

  • Bagaimana hubungannya dengan gagasan bhinneka tunggal ika?

Seno Gumira Ajidarma
Wartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Waktu jaman batu, manusia jadi satu dengan sukunya. Itu berarti kalau si Didi menghina suku Neanderthal, maka seluruh suku si Didi akan dimusnahkan oleh orang Neanderthal karena Didi dan sukunya adalah satu.” Itu kata Pater Brouwer dalam kolom “Ajaib bin Ajaib” di Kompas pada 1972.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja istilah “Neanderthal” di sini adalah sarkasme Brouwer, yang diperlukan oleh suatu kolom untuk menyentak. Namun kejengkelannya sangat bisa dimaklumi karena para pendiri negeri pagi-pagi menyematkan kata “bhinneka tunggal ika” dengan maksud sebaliknya: justru untuk merayakan keberagaman perbedaan antar-kelompok suku.

Angka tahun itu perlu saya sebut sekadar untuk menyadarkan betapa 50 tahun kemudian, pada 2022, masih saja berlaku “mental Neanderthal” itu, bahwa argumen kesukuan masih berfungsi untuk membuat manusia saling bunuh. Hal ini, misalnya, muncul dalam konflik antar-kelompok suku yang sering terjadi di Babarsari, Daerah Istimewa Yogyakarta, belakangan ini hingga daerah itu dijuluki “Gotham City”.

Masih pagi pula, dalam penelitiannya di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, antropolog sohor Clifford Geertz mencatat enam faktor yang disebutnya sebagai titik pusat keguncangan primordial (cara memandang ras, agama, suku, dan jenis kelamin yang telanjur melekat): (1) hubungan darah yang berkembang menjadi sentimen kesukuan; (2) ras yang akan memperlihatkan keberbedaan bentuk-bentuk fisik; (3) bahasa yang, meski disebutnya sebagai poros esensi konflik-konflik nasional, tidak mesti menjurus sebagai penyebab perpecahan karena konflik-konflik primordial bisa terjadi pada masyarakat yang perbedaan bahasanya tidak mencolok; (4) kedaerahan atawa regionalisme sebagai faktor primordial dalam politik nasional; (5) agama, ketika menghambat atau menggagalkan rasa kebangsaan; (6) kebiasaan, yang perbedaan-perbedaannya menjadi dasar perpecahan, ketika suku yang satu merasa lebih unggul dari yang lain (Sudarsono, 1976).

Geertz memisahkan antara apa yang disebutnya “kepenatan politik” dari kasus kesukuan, ras, serta bahasa dan “pemotongan politik”, ketika kasus-kasus itu melewati perbatasan teritorial—baginya, yang kedua adalah kasus yang lebih besar dibanding yang pertama (Sudarsono, 1976). Sebetulnya Geertz membahas berbagai variabel dari enam faktor itu secara lebih rinci dalam kasus sejumlah negara berkembang lain. Tapi relevansi perbincangan saya memang dipicu oleh kasus “pemotongan politik” ini ketika konflik kecil antar-kelompok suku dari luar Jawa berlangsung di Yogyakarta.

Pada 2019, saya pernah mengutip enam faktor Geertz ini untuk menunjuk gejala eksploitasinya oleh para politikus dalam pemilihan umum ("Sentimen Primordial Anno 2019", Koran Tempo, 14 Mei 2019). Tapi “niat jahat” dari sektor politik praktis ini saya sadari merupakan bahaya yang lebih kecil dibanding keterpicuan konflik berdasarkan faktor-faktor laten. Sinyalemen Brouwer yang tertulis pada 1972 bukanlah yang pertama ataupun yang terakhir, terutama terjadi di kota besar, tempat kesukuan dihayati dan berlangsung dalam konteks yang sudah tidak terlalu sama dengan di tempat asalnya. Memang ironis apabila militansi justru terjadi ketika orang tidak terlalu memahami nilai kesukuan sendiri.

Gejala ini tentunya bukan tidak dipertimbangkan para pendiri Republik. Seperti diketahui, asal-usul bhinneka tunggal ika sebetulnya adalah perkara koeksistensi dua agama, Çiva-Buddha. Kalimat lengkapnya: rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa/bhinneki rakwa ring apan kÄ›na parwwanosÄ›n/mangkânang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.

Adapun artinya adalah konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Çiva itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Çiva itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Mastuti dan Bramantyo, 2009).

Ini tertulis dalam pupuh CXXXIX kakawin Jawa Kuna Sutasoma gubahan Mpu Tantular dari Majapahit pada abad ke-14. Maksudnya adalah bahwa kedua agama tidak pernah melebur menjadi satu; keduanya tetap berbeda satu dari lainnya, biarpun para penganutnya hidup bersama dalam suasana yang amat ramah tamah (Kern, 1888).

Khusus bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa, dalam bahasa yang lugas berbunyi “berbeda tetapi satu jua, tak ada ajaran kebenaran yang mendua”. Namun Sukarno mengalih-tafsirkannya dalam konteks keanekaan suku bangsa dalam satu nation Indonesia (Sedyawati, 1982). Suatu spekulasi mungkin sahih: bagi para pendiri negeri yang notabene adalah juga para politikus itu, bhinneka tunggal ika berfungsi sebagai penyadaran preventif atas potensi eksploitasi pusat-pusat keguncangan primordial.

Dalam lanjutan analisisnya, Geertz mengutip Sutan Sjahrir dari bukunya Out of Exile tentang bagaimana, “Orang yang selama ini telah dengan sengaja dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan, sekarang harus dilibatkan ke dalamnya/... bahwa rakyat harus dibangkitkan kesadaran politiknya. Minat politik mereka harus digairahkan dan dipertahankan.”

Sebelumnya, Geertz memberi contoh bahwa dalam kasus petani kakao Ashanti, pemilik toko Gujarat, atau buruh tambang timah Tionghoa-Melayu, “pencapaian statusnya masing-masing dalam politik modern, betapapun mereka terikat kepada kultur tradisional, atau betapapun kuna dan tidak efektifnya negara baru tersebut berfungsi. Ia menjadi bagian integral dari suatu kesatuan politik yang otonom dan tersendiri dan yang akan melibat segala aspek kehidupannya kecuali yang amat pribadi.” (Sudarsono, 1976).

Namun apa yang berlaku bagi “orang asing” di Indonesia, alias sedikit-banyak merdeka dari ikatan asal-usulnya, rupanya tidak mesti berlaku bagi “masyarakat yang masih mendasarkan diri pada ikatan-ikatan primordial, (tempat) pengakuan terhadap kewenangan yang sah masih lebih besar diarahkan pada kesukuan, daerah, sekte, dan sebagainya, terhadap pusat kekuasaan yang berkembang cepat dan tak terpisahkan dari masyarakat, dan belum sepenuhnya meresap seperti sistem kewenangan dalam masyarakat-masyarakat kecil.”

Simpulan perbincangan Geertz, kedaerahan adalah pusat keguncangan primordial tergawat yang tidak dapat mengambinghitamkan divide et impera sebagai pemberi waris, melainkan akibat ikatan-ikatan primordial sebagai hasil perkembangan sejarah yang khas: dilanjutkan atau dimatikan oleh pemerintah kolonial, ikatan-ikatannya tak dapat dipisahkan dalam konstruksi politik dan kewarganegaraan baru (Sudarsono, 1976).

Pemikiran Geertz itu dipublikasikan pada 1963 dan diterjemahkan pada 1976. Penanda-penanda keguncangan primordial ternyata tetap berlangsung pada 2022 di kota “berbudaya dan amat terpelajar” Yogyakarta. Jika berbagai peristiwa politik dan kebudayaan semasa “Orde Lama” (penamaan oleh Orde Baru) disisir, frekuensi konflik yang tinggi di kalangan elite politik jelas membuat perhatian atas keterwakilan kelompok etnis terabaikan. Pada masa Orde Baru, posisi pusat pemerintahan begitu superior terhadap daerah sehingga dalam pelibatannya seperti berlangsung proses inferiorisasi.

Apa yang terjadi semenjak otonomi daerah menjadi fenomenal pasca-Reformasi 1998 adalah biasnya sebagai pengabaian terhadap kepentingan nasional atawa konstruksi kebangsaan—yang tanpa bias itu saja, pertumbuhan kebangsaan Indonesia telah dilampaui oleh fenomena globalisasi melalui revolusi komunikasi yang mencerabut akar budaya tanpa ganti keterikatan apa pun yang setara. Begitulah persoalan lama belum terselesaikan, sudah muncul masalah baru, yang tidak perlu disesali sebagai risiko berkebudayaan itu sendiri.

 

Artikel terkait

"Jokowi dan Kekuasaan Jawa" oleh Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden. Ini tanggapan terhadap artikel "Arogansi (Politik) Jawa" oleh Seno Gumira Ajidarma.

Catatan

Artikel ini sudah diperbarui. Sebelumnya di beberapa bagian tertulis "1978" yang seharusnya "1976".


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus