Kalau benar bahwa merosotnya pamor sejumlah anggota parlemen sekarang untuk pencalonan anggota DPR mendatang adalah "buah kevokalan mereka" selama ini, adegan sejarah demokrasi Indonesia kiranya layak ditangisi. Jumlah mereka memang tidak banyak, di antaranya, Saiful Sulun, Roekmini Koesoemo, Marzuki Darusman, dan Anang Adenansi. Mereka itu telah sempat meniupkan napas demokrasi, yang terasa segar dan hangat di dada sebagian kita. Mestikah mereka itu tergeser dan tergusur, bahkan melorot dan didosakan? Dalam suatu masa yang terus tumbuh, dinamis dan berkembang, munculnya entakan dan gejolak secara insidentil tentulah bukan hal luar biasa. Apalagi, mesti dijinakkan dengan cara yang terkesan dipaksakan. Keberadaan mereka, sebagai corong dan penyalur aspirasi dari bawah, mutlak diperlukan. Gejolak yang kadang-kadang muncul ke permukaan tentunya tak harus disumbat. Hal itu selain tak mudah, juga tidak perlu. Sebab, gejolak yang tersalur secara mapan dan benar (yang menyebabkan mereka vokal) justru tetap menjaga kita pada tingkat kewaspadaan optimum. Bisa saja suara vokal ditiadakan dengan paksa, apakah kondisi demikian yang kita maui? Bukankah situasi itu pantas kita ratapi? Menarik untuk direnungkan apa yang dikemukakan Bapak Saiful Sulun: bahwa parlemen yang kelewat lemah akan merugikan pemerintah (TEMPO, 14 September 1991, Laporan Utama). SUTEDJO Fibigerstr 163/109 2000 Hamburg 62 Germany
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini