Nurcholish Madjid menulis tentang demokrasi (TEMPO, Kolom, 5 Oktober 1991). Untuk mendukung argumennya, Nurcholish mengutip perkataan Ibnu Taymiyyah, "Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang zalim meskipun Islam." Dilanjutkan, dia juga berkata, "Dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezaliman meskipun Islam." Ini karena, baginya, ideatum Islam tentang kekuasaan dan negara adalah keadilan. Demikian tulis Nurcholish. Ungkapan yang mirip seperti itu pernah ditulis oleh H. Munawir Sjadzali, M.A. dalam buku Islam dan Tata Negara. Dalam buku itu, Munawir mengatakan, "Satu hal lagi yang cukup menarik, Ibnu Taymiyyah mendambakan ditegakkannya keadilan sedemikian kuat, sehingga dia cenderung untuk beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam." Deliar Noer, seorang ahli ilmu politik, dalam buku Islam dan Pemikiran Politik-nya menanggapi kitab Munawir itu, "Kalau benar demikian, ke mana Ibnu Taymiyyah menyembunyikan syariat Islam itu? Sayangnya, rujukan pengarang (maksudnya Munawir) tidak jelas pula. Dalam daftar bibliografi, ia merujuk kepada kitab Al-Siyasat al-Syari'ah, namun penulis (Deliar Noer) tidak menjumpai rujukan ini dalam kitab tersebut." Dilanjutkannya, "Memang Ibnu Taymiyyah menekankan sekali agar seorang pemimpin itu adil, dan tentulah kepala negara termasuk di sini. Tetapi katanya, ia harus bisa menjadi imam salat, sekurang-kurangnya ia harus salat. Ibnu Taymiyyah memperkuat argumentasinya dengan ayat-ayat Quran dan Hadis, juga dengan pendapat para sahabat dan ulama (Al-Siyasat al Syar'iyah). Kalau ini ditelusuri, demikian pula bab-bab berikutnya dari kitab Ibnu Taymiyyah itu, ulama tersebut bicara tentang negara, bukan dalam arti qenus (umum) melainkan dalam arti species (khusus), yaitu negara Islam yang kepala negaranya otomatis beragama Islam. Tentu tidak mungkin diharapkan bahwa kepala negara yang kafir melakukan salat, umpamanya." Dalam hal Nurcholish menisbahkan pernyataan kepada Ibnu Taymiyyah, yang mirip tulisan Munawir tersebut, apakah Nurcholish merujuk ke kitab Munawir yang sudah dibahas Deliar Noer itu? Atau ada rujukan lain yang lebih sahih? Seandainya ada, bukankah hal itu bertentangan dengan firman Allah swt. dalam Surat An-Nisa' Ayat 144? Ayat itu artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?" HARTONO Jalan Kalibata Indah 001/02 No. 23 Jakarta 12750
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini