Seperti biasanya, PSSI kalah lagi. Buat kita, berita itu biasa- biasa saja. Saya tahu bahwa para pemain dan segenap orang yang terlibat dengan sepak bola sudah berusaha sekuat tenaga. Bukan saja untuk memenangkan setiap pertandingan sehingga bisa berprestasi dengan lebih baik. Tapi lebih jauh dan penting lagi, ada keinginan kuat untuk menjawab sinisme bahkan kekesalan masyarakat terhadap PSSI. Sebenarnya saya tak suka hal-hal yang berbau mistis dan tidak logis. Tapi selalu saja ada hal-hal gaib, suka atau tidak, harus kita percayai. Saya pikir prestasi PSSI yang begitu-begitu itu ada hubungannya dengan SDSB. Nilai fisik SDSB (berupa dana yang tidak kecil) jelas dapat berfungsi banyak. Tapi nilai spritualnya rendah sekali. Setidaknya tidak ada orang yang benar-benar ikhlas dan sadar membelanjakan uangnya untuk SDSB: hanya memang ingin menyumbang dan melihat olah raga di negeri kita maju pesat. Belum lagi ''kutukan'' terhadap SDSB oleh sebagian besar ulama dan sumpah para istri yang ''teraniaya'' karena uang untuk makan keluarga malah dipakai suaminya untuk membeli SDSB. Padahal doa kedua kelompok orang ini manjur. Karena itu dana SDSB menjadi tidak berkah. Untuk itu sudah saatnya keberadaan SDSB dikaji ulang, dan menggantikannya dengan sesuatu yang diridoi oleh semua orang. Tuhan YME, tampaknya, berharap agar kita cepat-cepat berubah pikiran. Kegagalan PSSI ataupun kemelut kecil yang sempat terjadi di tubuh NU sebetulnya hanyalah dua akibat yang sepele dan segera dari SDSB. Jadi Tuhan masih sayang dengan rakyat Indonesia. Jangan sampai kita sadar atas kekhilafan kita setelah terjadinya bencana yang lebih buruk yang menyangkut mentalitas bangsa. Menurut saya, pendanaan olah raga memang seharusnya disubsidi oleh Pemerintah dengan bantuan para sponsor (swasta). Sedangkan untuk aktivitas-aktivitas sosial (yang banyak dibantu dari dana SDSB), bisa diambil dari dana masyarakat lewat pajak atau zakat/infaq. Meskipun miskin, rakyat kita umumnya cukup pemurah kok. Dengan begitu, logikanya jadi betul. Aktivitas sosial didanai oleh orang-orang kaya. Tak seperti yang terjadi sekarang ini, justru yang banyak menyumbang adalah orang-orang miskin (karena mayoritas konsumen SDSB justru dari kalangan menengah ke bawah). Semoga SDSB tak berumur lebih panjang lagi. Setidaknya kalau usianya sudah 6 tahun, SD-SB harus berubah menjadi SMP-SB (Sumbangan Masyarakat untuk Pekerjaan yang berkah). Bagaimana Bu Intan Soeweno? FATHANSYAH Jalan Titiran 2 Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini