Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohamad Ikhsan
Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat FEUI
PERKEMBANGAN pemulihan ekonomi selama tahun 2000 menunjukkan gambaran yang mendua, terutama dilihat dari perbedaan antara persepsi dan realitas. Persepsinya adalah perekonomian (akan) memburuk dilihat dari terus melemahnya rupiah, meningkat kembalinya rupiah pada saat terjadi ekses likuiditas, membesarnya perbedaan suku bunga domestik dan luar negeri sebagai refleksi penurunan kepercayaan masyarakat internasional, serta memburuknya indikator-indikator kepercayaan konsumen dan produsen.
Persepsi yang memburuk juga terlihat jika kita mengamati perubahan dalam pola indeks forward exchange rate. Sejak triwulan terakhir tahun 1999, forward rate terus menurun hingga mencapai 3,95 persenrate terendah bahkan jika dibandingkan dengan pre-crisis leveldi mana forward rate jangka panjang (3,85 persen) lebih rendah dibandingkan dengan rate jangka pendek. Ini mencerminkan pelaku pasar, khususnya di pasar uang, optimistis (pada saat itu) rupiah akan kembali menguat. Trend ini terus berlanjut hingga Maret 2000. Namun, sejak minggu kedua April 2000, saat tensi politik memanas dan terindikasikan tidak ada keinginan kuat dari pemerintah untuk menerapkan prinsip good governance, terjadi perubahan pola forward rate, yaitu forward rate 3 atau 6 bulan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan forward rate jangka pendek, yang menunjukkan persepsi pesimistis pasar tentang kondisi jangka menengah Indonesia. Realitasnya di dalam sektor riil berbedawalaupun angka pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2000 lebih rendah dibandingkan dengan prediksi sebelumnya dan laju pertumbuhan sebelum penelaahan lebih dalam menunjukkan gambaran yang menggembirakan. Pertama, berbeda dengan persepsi atau perkiraan analis sebelumnya, lebih dari 50 persen sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor ekspor neto. Konsumsi masyarakat hanya menyumbang 22 persen dari pertumbuhan triwulan tersebut. Investasi pun kembali menunjukkan pertumbuhan yang positif setelah terus menurun sejak krisis ekonomi tahun 1997. Hal ini memberikan indikasi bahwa sektor riil, khususnya sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor, telah menggeliat. Ekspor selama semester pertama 2000 meningkat 25 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang berasal dari peningkatan volume dan harga ekspor. Ekspor hasil industri memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan tersebut. Ini sangat konsisten jika dilihat bahwa 52 persen laju pertumbuhan ekonomi dihasilkan oleh sektor manufaktur nonmigas, disusul sektor perdagangan dan sektor pengangkutan. Realitas ketiga adalah mulai meningkatnya aliran masuk modal luar negeri, terutama untuk penanaman modal langsung (FDI), dari US$ 575 juta pada kuartal keempat 1999 menjadi US$ 700 juta pada triwulan pertama tahun 2000. Masuknya dana investasi luar negeri dan kecenderungan peningkatannyawalaupun masih rendah dibandingkan dengan sebelum krisismenunjukkan seakan-akan tajamnya perbedaan persepsi dengan realitas. Perbedaan antara persepsi dan realitas juga bisa dilihat dari perkembangan volume kredit. Persepsi yang berkembang, volume kredit tidak meningkat karena adanya credit crunch, yaitu perbankan enggan meminjamkan dananya di tengah tingginya permintaan. Kenyataannya, permintaan terhadap kredit sangat rendah karena perbankan kesulitan mencari peminjam yang kredibel dan ini mengakibatkan terjadinya kelebihan likuiditas. Debitor yang baik dan yang tidak tersangkut dengan BPPN praktis tidak pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan kreditsuatu hal yang menjelaskan sumber peningkatan ekspor di atas. Menarik pula kredit kecil dan mikro (Kredit Umum Pedesaan) tetap mengalami peningkatan, bukan hanya dalam nilai nominal, tapi juga dalam nilai riilnya. Realitas-realitas tersebut merupakan fakta yang tidak bisa dimungkiri. Pertanyaan yang patut diangkat adalah dari mana sumber perbaikan kondisi ekonomi selama enam bulan pertama tahun 2000 ini. Apakah memang persepsi dan realitas berbeda? Harus disadari bahwa persepsi merupakan lead factor yang akan menciptakan realitas dengan kelambatan waktu tertentu. Realitas dalam sektor riil terbangun akibat perbaikan persepsi (kepercayaan) setelah suksesnya proses demokratisasi yang dimulai pada Juni 1999 (pemilu) hingga pemilihan presiden dan mulai pulihnya "luka-luka bangsa" yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998 dengan cepat. Persepsi yang terbangun saat itu, pemerintah yang baru akan mampu membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta akan berhasil melakukan rekonsiliasi nasional. Optimisme ini telah mendorong masyarakat melakukan konsumsi kembali. Importir di negara tujuan ekspor pun kembali memesan produknya dari Indonesia, sementara investor asing dengan "rakus"-nya mengincar aset-aset yang ada karena harganya sangat murah. Sayangnya, "khayalan" para pelaku pasar termasuk rumah tangga ini sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. KKN tetap saja marak, biaya transaksi tetap tinggi. Bukan rekonsiliasi politik yang terjadi, malah konflik politik antar-elite makin tajam. Proses pengambilan keputusan ekonomi amburadul dan pemerintahdari presiden hingga menterinyatidak tahu bagaimana arah dan strategi untuk memulihkan ekonomi. Keputusan yang dilakukan sangat ad hock dan sering bertentangan satu sama lain. Kondisi-kondisi inilah yang membangun persepsi negatif terhadap kondisi ekonomi Indonesia, yang akan mempengaruhi realitas di masa mendatang. Diperkirakan ini akan terlihat selama triwulan ketiga tahun 2000. Tanda-tandanya pun sebetulnya sudah kelihatan. Begitu nilai tukar merosot, pengusaha mulai mengeluh. Bank Indonesia sudah berteriak bahwa tekanan inflasi meningkat. Importir di negara tujuan ekspor menunda pembelian. Begitu pula investor portofolio. Mereka menunggu hasil sidang MPR Agustus 2000. Karena itu, sangat penting pemerintah dan elite politik berhenti bertikai dan menunjukkan sense of crisis untuk membalikkan kembali persepsi yang berkembang. Jika persepsi bergerak sama dengan realitaske arah negatif tentunyaakan sangat sukar membangkitkan kembali perekonomian Indonesia. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |