Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dialog Masalah Papua

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frans Maniagasi
Pengamat masalah Papua

Presiden Abdurrahman Wahid, 4 Juli lalu, menerima delegasi Dewan Presidium Papua yang melaporkan hasil Kongres Rakyat Papua, yang telah berlangsung awal Juni lalu di Jayapura.

Gus Dur dalam kesempatan itu menyatakan: Pertama, menerima dan akan mempelajari hasil kongres. Kedua, akan ditindaklanjuti dengan dialog yang intensif dan kontinu sebagai upaya mencari solusi terbaik bagi penyelesaian "masalah" Papua. Ketiga, Presiden meminta kepada elite politik dan kekuasaan di Jakarta agar menghentikan "polemik" yang tidak bermanfaat mengenai persoalan Papua.

Kesediaan Gus Dur untuk melakukan dialog secara intensif dan terus-menerus membuktikan kearifannya dalam merespons aspirasi dan tuntutan rakyat Papua. Juga menandai terbukanya hubungan dialogis, yang selama berkuasanya rezim otoriter Soeharto gagal membangun interaksi yang positif, bebas, dan demokratis antara pemerintah pusat di Jakarta dan rakyat Papua. Padahal, dialog sangat dibutuhkan guna mengatasi berbagai masalah.

Akibat tak adanya pemahaman timbal balik bagi rakyat Papua di satu pihak dan pemerintah di lain pihak, mereka hampir kehilangan identitasnya sebagai suatu komunitas sosial. Bahkan rakyat Papua terjebak dalam situasi teralienasi dari horizon kemanusiaannya.

Ketika Soeharto selaku presiden mundur pada 21 Mei 1998, rakyat Papua bangkit dan menyatakan "identitas kulturnya" sekaligus mempertanyakan posisi identitasnya di tengah-tengah kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebangkitan untuk "memproklamasikan" dan menyatakan identitas kulturalnya sebagai sebuah semangat dalam upaya memerdekakan identitas kultural itu menyebabkan adanya "tabrakan".

Pemerdekaan identitas kultural yang terwujud lewat simbol seperti bendera kebangsaan (Bintang Kejora), lagu kebangsaan (Hai Tanahku Papua), menandakan bahwa sebenarnya rakyat membutuhkan pengakuan atas identitas kultural yang telah sengaja dihilangkan atau direkayasa demi rasionalisasi persatuan dan kesatuan Indonesia.

Karena itu, dialog lewat pemahaman hubungan timbal balik seperti dinyatakan Presiden Abdurrahman Wahid, selain dibutuhkan pada aras penyamaan visi dan persepsi tentang penegasan identitas kultural, juga sebagai upaya epistemologi penyelesaian persoalan Papua selama 38 tahun integrasi.

Artinya, meletakkan identitas kultural rakyat Papua pada dataran kesatuan dan persatuan bangsa dalam dimensi yang berbeda, bahkan barangkali sangat bertentangan. Namun, hal itu harus dibangun dari dimensi yang berbeda-beda, karena disadari bahwa penegasan identitas kultural tidak terjadi begitu saja tapi melalui sebuah proses dialektika.

Jika dinamika dari proses dialektika di antara dua aktor, yaitu rakyat Papua melalui penegasan identitas kulturalnya dan pemerintah Indonesia demi "kesatuan dan persatuan", saling merespons, produknya merupakan kebenaran yang penuh.

Sehingga, dialog mensyaratkan tiga faktor. Pertama, adanya aktivitas komunikatif membuat interpretasi terhadap sejarah awal integrasi Papua dengan Indonesia sehingga diharapkan tercapainya "konsensus" mengenai pelurusan sejarah. Kedua, proses dialog harus diletakkan dalam tatanan masyarakat yang didasari pada adat, budaya, tradisi, dan "bahasa" mereka sehingga memungkinkan rakyat terlibat dalam tindakan komunikatif guna membentuk solidaritas sejati. Ketiga, rakyat harus dimungkinkan untuk berbicara dan bertindak sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam proses dialog sesuai dengan konteks dan jati dirinya.

Selain itu, dalam dialog, semua pelaku, rakyat dan pemerintah, berada dalam suatu kondisi dan posisi yang setara. Tidak ada yang superior dan tak ada yang inferior. Tak ada "atasan" dan tidak ada "bawahan". Semua atribut harus ditanggalkan guna memasuki interaksi yang kritis dalam koridor akal budi yang jernih dan nurani yang suci. Dengan demikian, arogansi kekuasaan sebagai satu-satunya penentu paling benar atau determinator tunggal harus dilepas.

Semangat kebersamaan dalam perbedaan, dalam diskursus "Bineka Tunggal Ika" perlu menjadi "roh" motivasi dalam setiap tindakan dialogis. Dalam konteks itu dialog bukan saja semata-mata sebagai sarana dari suatu keputusan, tapi cerminan komunikasi dari rakyat kepada pemerintah (tesa), dan materi yang perlu didialogkan yaitu pelurusan sejarah integrasi Papua (antitesa) untuk mencapai kebenaran bersama (sintesa).

Sehingga, secara jujur pemerintah mau belajar dari rakyat untuk melihat bahwa kepentingan bangsa dan negara menuntut pengingkaran dan pengorbanan kepentingan kekuasaan. Kejujuran meretas stagnasi sehingga setiap aktor pelaku dialog tidak terbenam dalam kepentingannya masing-masing.

Bila hal ini terlaksana dalam dialog yang jujur, transparan, terbuka, dan demokratis, minimal akan dihasilkan tiga hal penting. Pertama, reproduksi "identitas kultural" menjamin terjadinya "konsensus baru" antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Kedua, integrasi Papua dan Indonesia ke depan bukan karena adanya unsur "kawin paksa" tapi hal itu dibangun di atas basis logika tanpa menghilangkan identitas kultural, yang telah diakui oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui izin pengibaran bendera Bintang Kejora dengan ukuran teknis yang lebih kecil dari bendera nasional Merah Putih, serta sebelumnya pengembalian sebutan istilah atau nama Papua sebagai pengganti sebutan Irianjaya.

Ketiga, sosialisasi dari dialog tersebut harus menjamin bahwa konsensus baru yang telah disepakati mampu memberikan ruang dan tindakan bagi generasi Papua mendatang.

Sebab, hal ini merupakan dasar rohani yang dibangun atas basis pemilikan bersama warisan sosiokultural, tradisi dan cara hidup, kehendak untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas sosial. Artinya, basis rohani ini bisa terwujud jika rakyat Papua sebagai komunitas sosial mampu "di-wong-kan" atau "dimanusiakan", sesuai dengan martabat kemanusiaan universal, menghargai perbedaan yang dimilikinya. Roh dasar itulah yang akan selalu melandasi setiap proses dialog guna mencari alternatif pemecahan masalah Papua. Tabeamufa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum