Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI negarawati sekaligus politisi yang piawai adalah tantangan utama Megawati. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia dituntutmelalui jalur politikuntuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun, pada saat yang sama, putri proklamator bangsa ini adalah juga seorang wakil presiden, sebuah jabatan yang hanya diperuntukkan bagi para negarawan atau negarawati.
Kedua jabatan ini sekarang berseberangan. Yang satu menuntut agar Mega memanfaatkan peluang konstitusi yang sedang terbuka untuk menjalankan amanat partai dengan menggusur Presiden Abdurrahman Wahid dari kursinya. Yang lain mendorong agar ia tetap setia mendukung "Mas Dur" demi mencegah terjadinya konflik kekerasan antarpengikut mereka di jajaran akar rumput. Kedua pihak mempunyai alasan yang kuat untuk mendukung argumentasi mereka. Mega tinggal memilih soal asumsi siapa yang lebih layak dipercaya, dan ini bukanlah soal mudah.
Semua pilihan yang tersedia mempunyai risiko yang berat. Masalahnya, Abdurrahman Wahid adalah teman lama yang kesetiaannya di masa silam telah teruji, tapi terkesan gemar mengkhianatinya setelah menduduki kursi kepala negara. Sementara itu, bila Mega ingin meraih kursi kepresidenan, ia tak dapat melakukannya hanya dengan dukungan PDI-P. Kendati merebut kursi terbanyak dalam pemilihan umum terakhir, partai berlambang banteng ini terbukti kalah suara jika harus berhadapan dengan aliansi Poros Tengah.
Persoalannya sekarang adalah siapa yang dapat lebih dipercaya: Abdurrahman Wahid dengan Partai Kebangkitan Bangsa ataukah Amien Rais dengan koalisi Poros Tengah-nya. Tak mudah mencari jawabnya karena dalam pemilihan presiden Oktober 1998, keduanya bergabung dalam menghadang upaya Megawati meraih posisi nomor satu di negeri ini.
Kalaupun diasumsikan keduanya tak dapat dipercaya, jawaban yang tersedia masih terbagi dua. Dari kacamata politisi, pilihan sepatutnya dijatuhkan pada pihak yang bersedia memberikan konsesi paling banyak. Dan upaya menggali konsesi maksimum ini kelihatannya sedang dilakukan oleh para pengurus PDI-P. Bahwa Megawati membiarkan proses ini terjadi, itu adalah sebuah kesalahan.
Sebab, bila kepentingan bangsa yang jadi acuan, sebaiknya Megawati menyerahkan pilihan ini kepada rakyat banyak. Caranya tidak terlalu sulit, tapi menuntut pengorbanan politis. Mega seharusnya menggunakan peluang yang terbuka saat ini untuk menata ulang sistem politik nasional agar lebih bertumpu pada kepentingan orang ramai. Ia dapat menjadi lokomotif gerakan reformasi dengan menggelindingkan upaya menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang politik lainnya sehinggadalam tempo sesingkat-singkatnyarakyat Indonesia dapat memilih presidennya secara langsung dan memilih wakil rakyatnya melalui sistem distrik. Tentu dengan mempertimbangkan pula aspek proporsionalitas untuk melindungi mereka yang berasal dari kalangan minoritas ataupun yang hidup di wilayah yang jarang penduduknya.
Hanya melalui pilihan inilah Megawati dapat mempertautkan kembali Tanah Air yang sedang tercabik-cabik oleh berbagai kemelut ini. Dengan itu, ia akan meneruskan nama besar ayahnya sebagai pemersatu bangsa di saat-saat yang sulit. Bahkan, ia sekaligus mengoreksi kekeliruan Bung Karno ketika memberlakukan "Demokrasi Terpimpin" melalui penerapan sistem demokrasi yang lebih berkualitas.
Tuhan rupanya bermurah hati memberi kesempatan emas kepada Megawati. Mudah-mudahan tak akan ia sia-siakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo