Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fahrul Muzaqqi
Dosen FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu hal yang sedang ramai dibincangkan di media ihwal perayaan demokrasi lima tahunan di Tanah Air adalah fenomena perilaku politik kaum milenial. Dibanding pemilihan umum lain, khususnya pemilihan presiden 2014, antusiasme politik di kalangan kaum milenial kini sedang diuji. Mereka kini dihadapkan pada berbagai isu, mulai dari yang bernada positif hingga yang bernada miring atau nyinyir. Isu terakhir adalah provokasi golput yang mencuat di berbagai media dengan kaum milenial "dicurigai" sebagai korban sekaligus pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kekhawatiran bahwa kaum milenial hanya dijadikan obyek kepentingan politik pragmatis para elite yang abai terhadap pendidikan politik. Implikasinya, apatisme politik milenial menguat. Salah satu manifestasi yang cukup fenomenal adalah munculnya akun Dildo di media sosial dan provokasi golput.
Peragaan kampanye menuju pemilihan umum pada 17 April 2019, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, kiranya menjadi pertunjukan yang terus dicerna oleh para calon pemilih. Ini terutama bagi massa mengambang, baik yang masih berubah-ubah (swing voters) maupun yang masih mempertimbangkan (undecided voters). Perdebatan perihal pemilih yang masih "menunggu diyakinkan" itu dapat diasumsikan karena beragam variabel penyebab.
Dalam perspektif paling pragmatis, pemilih rasional berbasis kompensasi material tentu akan menunggu mana kompensasi uang atau barang yang paling besar, baru kemudian menentukan pilihan. Seberapa kuat pun kita menyangkal, praktik demikian di akar rumput masih terus muncul. Bagi pemilih mengambang, politik material ini tidak beranjak dari transaksi lacur model lama. Apabila tidak ada peredaran uang atau barang, golput-lah pilihannya.
Akan berbeda bagi calon pemilih yang masih berada pada taraf awal memahami apa sebenarnya politik bagi mereka. Strategi dan metode tentu sangat penting untuk menarik perhatian sesuai dengan selera masa kini. Namun yang lebih penting tentu menghadirkan ramuan ide-ide brilian untuk masa depan Tanah Air dalam tawaran visi-misi program. Di sinilah tantangan para kontestan. Politik tidak melulu dipandang sebagai ajang transaksi, tapi bagaimana menata negara-bangsa ini secara lebih baik.
Namun, alih-alih menyodorkan tawaran visi berikut strategi dan program realistis, yang mengemuka justru merebaknya hoax yang tiada habisnya, sentimen kebencian berbasis ikatan primordial (termasuk agama), serta ideologi dan saling tuduh dan sindir mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Tak mengherankan, fenomena Dildo atau persuasi dan provokasi golput dipandang sebagai kritik tajam atas situasi sosial-politik kita hari ini. Namun apakah fenomena itu lantas menjadi jawaban final atas defisitnya politik dari ide-ide visioner bagi negara-bangsa kita?
Jawaban atas masalah itu kiranya bermuara pada bagaimana pendefinisian politik bagi generasi pemula yang masih mengambang tersebut. Apabila politik ditangkap oleh indra mereka hanya sebagai pertunjukan kemasan nir-substansi, bersiap-siaplah terjadi distorsi bahwa politik hanya sebagai ajang merebut kuasa tanpa mengharuskan ada kemampuan sosok negarawan dan nilai-nilai pengabdian. Politik, dalam jalur ini, secara ekstrem justru mengarah pada penggalian kuburnya sendiri. Ia tidak lagi berkutat pada bagaimana mengatasi persoalan-persoalan bangsa, seperti kemiskinan dan keterbelakangan, tapi bagaimana "mengakali" problem-problem rakyat tersebut menjadi semata sumber daya untuk meraih kekuasaan.
Ekspresi ketidakpuasan dari para pribumi digital (digital natives) itu, mirisnya, diungkap dengan penuh sukacita seolah-olah dirayakan. Perayaan apatisme karena kemerosotan politik kita ini seharusnya menjadi catatan tebal bagi para calon pemimpin yang sedang berkontestasi. Jangan sampai proses pemilihan umum tahun ini justru mendegradasi pemahaman politik sebagai bidang yang kehilangan makna karena ternyata tidak terlalu membutuhkan kemampuan kenegarawanan, penuh tipu daya, dan instrumen sentimen kebencian.
Para kandidat pemimpin itu bisa saja memalingkan muka atas fenomena perayaan apatisme ini. Selama proses kampanye tidak melanggar aturan kandidasi, mengapa harus dipusingkan? Namun akankah sedemikian kerdil respons dari para calon pemimpin negara kita itu? Kita tentu ingat bahwa sebelum era reformasi bergulir, rezim otoritarian Orde Baru berupaya sekuat tenaga mengapolitiskan warganya. Hal itu untuk meleluasakan kekuasaan sehingga tidak dimungkinkan lahirnya kritik. Era reformasi sendiri lahir sebagai manifestasi aktivisme politik yang konkret.
Kini yang terjadi malah berbeda secara diametral. Rezim politik tidak perlu repot-repot mengapatiskan warga negaranya. Cukup menampilkan politik dengan wajah nyinyir, respons warga negara juga akan nyinyir, lalu lama-kelamaan apatis. Kondisi politik ini, meminjam istilah Bertolt Brecht (1898-1956), mengarah pada pembentukan generasi buta politik, yang ironisnya merasa gembira kebutaannya. Tentu kita tidak mengharapkan itu.
Hal realistis yang dapat dilakukan tidak lain adalah membenahi proses kandidasi yang tersisa hingga hari-H pencoblosan dengan muatan-muatan politik yang lebih substantif, keadaban dari para kandidat dan loyalis, serta komitmen atas tujuan berbangsa dan bernegara, yakni keadilan dan kesejahteraan rakyat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo