Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA sedikit mengerutkan kening manakala Malaysia yang sedang giat-giatnya mempromosikan Visit Malaysia Year 2009 meletakkan kesenian reog, angklung, batik, lagu Rasa Sayange, dan tari pendet di antara produk budayanya—walau yang terakhir bukan ulah pemerintahnya. Apa yang sesungguhnya sedang menimpa encik-encik di Semenanjung Melayu itu?
Berbulan kita mencoba menerawang sosok jiran yang belakangan ini seakan sukar dikenali lagi, negeri Melayu dengan penduduk yang multirasial dan telah mencapai kemajuan ekonomi yang mengesankan, dan belakangan ini teramat gemar—bahkan ngotot—mengumpulkan naskah kuno Melayu di pesisir Sumatera dan Kalimantan. Boleh jadi ini suatu kompensasi atas ketidakmampuan budaya untuk mengiringi derap kemajuan ekonomi. Barangkali ini bagian dari semangat peneguhan identitas kemelayuan yang meluap-luap sehingga tak lagi mengenali perbedaan Malaysia dan Nusantara. Atau enteng saja, ini semua tidak lain dari strategi pemasaran pariwisata yang tidak ambil pusing pada tetek-bengek identitas dan budaya.
Kita prihatin terhadap ketidakpekaan itu. Tapi, tatkala reaksi dari pihak Indonesia sampai melibatkan mobilisasi massa dan sweeping terhadap warga Malaysia di Jakarta pekan lalu, keprihatinan itu kini bergeser ke arah diri sendiri. Kita terpana. Apa yang sebenarnya tengah terjadi sehingga kesabaran kita seolah-olah terisap habis, dan sebagian masyarakat kita mulai hanyut dalam jargon politik awal 1960-an: Ganyang Malaysia. Reaksi meluap ini hanya membuktikan nasionalisme Indonesia yang agresif terhadap tetangganya itu tidak ikut mati bersama tenggelamnya pemerintahan Soekarno pada 1965-1966.
Mungkin rasa kecolongan dan tidak siaplah yang membangkitkan kembali amarah dan nasionalisme warisan dari zaman Perang Dingin itu. Kita mestinya sadar, di balik itu semua terdapat suatu sikap yang tak rasional. Akal sehat selalu mengingatkan kita agar lebih berhati-hati merawat aset budaya, seandainya milik kita yang sangat berharga itu diincar pencuri.
Hubungan antara dua negara bertetangga ini tentu tak hanya melibatkan pertimbangan yang masuk akal. Layaknya dua tetangga, mau tidak mau Indonesia dan Malaysia secara geografis telah ditakdirkan untuk selalu bertemu, baik untuk bekerja sama maupun bersaing. Sejak 1960-an, bulu tangkis menjadi ajang kompetisi tak kunjung berakhir. Sebaliknya, kooperasi budaya yang diawali dengan keterlibatan sejumlah seniman Indonesia dalam seni musik dan akting di Malaysia pada 1930-an merupakan ajang kerja sama yang hingga kini pun tak surut.
Mesti diakui, ketertinggalan Indonesia di bidang ekonomi telah menimbulkan aneka persoalan yang tak pernah muncul empat dasawarsa sebelum ini. Ribuan tenaga kerja Indonesia bekerja dalam sektor pembangunan, sebagai pembantu rumah tangga atau yang lain, di Malaysia. Sebagian orang kita bahkan menyeberangi Selat Malaka dan berlabuh secara ilegal untuk ikut memperebutkan ringgit.
Sejak krisis ekonomi menghantam pada akhir 1990-an, prestasi Indonesia dalam dunia ekonomi, olahraga, dan pendidikan melorot turun. Namun itu tak boleh menimbulkan rasa iri kepada saudara muda yang sekarang punya prestasi menjulang. Bagaimanapun, demokrasi Indonesia merupakan pencapaian bersejarah yang luar biasa, yang bisa dikatakan melebihi Malaysia. Dan persoalan kita dengan Malaysia sekarang ini adalah ketidakmampuan kita merawat aset budaya bangsa. Tak lebih dari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo