Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUKA atau tidak, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tak bisa dibenci karena berkeras hendak menaikkan tarif dasar listrik. Keinginan itu kuat alasannya. Kemampuan dan kebutuhan perusahaan itu untuk bisa bertahan—menyediakan listrik untuk keperluan rumah tangga dan komersial—memang menuntut demikian.
PLN perlu melakukan investasi. Ada kenaikan konsumsi listrik 5.000 megawatt per tahun yang tak mungkin disetop. Demi memperbesar kapasitas layanannya, perusahaan itu harus membangun pembangkit baru.
Dalam rencana usaha sampai 2018, perseroan itu membutuhkan tambahan modal Rp 80 triliun. Tapi PLN seperti terbelenggu; ia sulit bisa cepat merespons permintaan. Margin usaha yang hanya dua persen (yang dibolehkan pemerintah), dengan ongkos produksi yang terus merayap naik, sangat membatasi kemampuan untuk bisa menjaring dana pinjaman.
Hal lain berkaitan dengan persepsi investor terhadap perseroan. Sebagai penerbit obligasi, PLN wajib memelihara consolidate interest coverage ratio—perbandingan antara berapa kali perusahaan sanggup membayar bunga utang dan arus kasnya. Tak kalah pentingnya, PLN pun harus memelihara debt service coverage ratio—pendapatan bersih dibagi kewajiban pembayaran utang maksimum—dalam posisinya sebagai penerima pinjaman dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia. Gagal memenuhi angka minimal keduanya, keuangan PLN bisa runyam.
Agar PLN bisa keluar dari situasi pelik, pemerintah menyetujui kenaikan margin mulai tahun depan, sebesar delapan persen—lebih tinggi daripada margin minimal yang diperlukan sebesar lima persen. Untuk mewujudkannya, tarif dasar listrik yang tak berubah sejak 2004 akan dinaikkan.
Belum diketahui berapa besar tarif akan dinaikkan, juga kapan mulai diberlakukan. Yang segera terbayang adalah masalah laten dari kenaikan itu. Persisnya: siapa yang harus menanggung dan bagaimana beban itu didistribusikan secara adil di antara para pelanggan listrik. Bukan hal baru, memang. Tapi ini urusan yang selalu muncul setiap kali ada niat untuk menaikkan tarif.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa PLN menjual listrik di bawah harga produksi. Subsidi pemerintah menutup selisih harga itu. Tahun depan nilai subsidi yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat mencapai Rp 48,31 triliun—bisa menggelembung bila harga minyak dan nilai tukar dolar Amerika Serikat membubung. Masalahnya, tak ada mekanisme yang mengatur siapa yang berhak dan siapa yang mesti dikecualikan dari kucuran subsidi itu. Nyatanya, justru kalangan yang mampulah yang paling banyak menikmatinya.
Garis tegas memang selekasnya harus ditarik: subsidi tak boleh salah sasaran, hanya berlaku bagi kalangan miskin. Untuk mengatur hal ini, bisa saja, misalnya, PLN hanya mengurus produksi listrik dan kemudian menjualnya ke pemerintah. Penetapan tarif dan pengaturan kelompok pelanggan yang berhak memperoleh subsidi bisa dilakukan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Mungkin juga ada cara lain. Tapi, apa pun itu, subsidi harus sampai ke kelompok masyarakat yang memang berhak dan membutuhkan. Mereka yang berkecukupan, dan tak pernah peduli bahwa harga yang mereka nikmati sebenarnya membebani sebagian besar masyarakat, sudah harus membiasakan diri dengan tarif baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo