Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif.
Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole France, adalah la gaieté de la réflexion et la joie de la sagesse. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal ihwal yang berlebihan—dan jadi sedikit bijaksana seraya riang.
Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40—yang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di dunia—tak berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di bawah 20.
Asterix diciptakan René Goscinny dan Albert Uderzo. Umur komik ini lebih panjang ketimbang Goscinny sendiri, yang meninggal pada 1977, setelah ulang tahunnya yang ke-51. Uderzo meneruskan karya bersama itu. Cerita bergambar yang kocak itu kini sudah mencapai sekitar 34 jilid, sejak pertama kali terbit di majalah Pilote pada 29 Oktober 1959.
Sebagaimana tiap penggemarnya tahu, Asterix dikisahkan tinggal di sebuah desa bernama Armorica di wilayah Gaul, atau Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 Sebelum Masehi. Di masa itu, daerah yang luasnya meliputi peta Prancis modern itu (plus Belgia, Luksemburg, dan Swiss) dikuasai imperium Romawi di bawah Julius Caesar. Goscinny menciptakan Desa Armorica yang bebas untuk menunjukkan bahwa tak semua bangsa Gallia takluk. Dengan cara yang kacau-balau, tapi dengan bantuan ramuan jamu dukun mereka, Asterix dan orang-orang sekampungnya selalu bisa mengalahkan tentara Romawi yang perkasa. Ramuan jamu itu bisa membuat tubuh mereka mahakuat, seperti Popeye Sang Kelasi setelah menyantap bayam.
Tapi Asterix dan kawan-kawannya yang mencoba mengelak dari penjajahan Romawi berbeda dari Si Popeye yang melawan Bluto yang merebut sang kekasih, Olive Oyl. Karya E.C. Segar, kartunis yang hidup pada awal abad ke-20 di kota kecil Chester di Illinois, Amerika Serikat, itu praktis tak bicara apa pun yang terkait dengan politik. Popeye sebuah lelucon cepat yang bisa diulangi lagi, cocok buat anak-anak. Sebaliknya, Asterix mengandung percakapan tentang kekuasaan dan tentang apa yang bisa disebut sebagai patriotisme.
Patriotisme selalu punya masa lalu pilihan, dan dalam kasus Prancis—sebagaimana tersirat dari lelucon Goscinny dan Uderzo—pilihan itu jatuh ke sebuah sejarah dua milenium lebih di masa silam. Tokohnya Vercingetorix, yang bunyi ”ix”-nya mengilhami Goscinny dan Uderzo untuk dipelesetkan.
Vercingetorix menolak kolonisasi Romawi. Orang Gallia ini berontak. Ia berhasil menghimpun kembali para pemimpin lokal yang saling bersaing. Ia jadi raja mereka dengan dukungan petani miskin. Ia tak main-main. Ia pernah mengalahkan Julius Caesar, dan hampir berhasil ketika ia mengepung pasukan Romawi dengan 30.000 tentara di Alesia. Tapi Caesar lebih berpengalaman. Dibangunnya dua dinding konsentris sebagai penangkis. Vercingetorix gagal. Pemimpin Gallia ini akhirnya menyerah pada tahun 52 Sebelum Masehi, dirantai ke Roma dan mati.
Jika kita lihat patung setinggi tujuh meter yang didirikan Napoleon III untuk mengenang Vercingetorix, kita praktis tak akan teringat Asterix atau siapa pun dari tangan Goscinny dan Uderzo. Sosok patriot besar Gallia itu tinggi tegap. Rambutnya ikal memanjang. Sebaliknya Asterix kontet, apalagi bila disandingkan dengan sahabatnya yang gendut gempal, Obelix. Wajahnya tua, tapi tanpa wibawa.
Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. Dengan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme bukan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, tatapan mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi yang konyol. Patriotisme jadi konyol ketika gairah mencintai sebuah tanah air meluap-luap sedemikian rupa hingga tak ada ruang untuk melihat apa pun yang lain, apalagi untuk kesadaran akan ironi.
Asterix menyegarkan, mungkin karena ia lahir setelah dua perang besar yang hampir menghancurkan Eropa—dua perang yang dipicu oleh patriotisme yang berkembang jadi nasionalisme yang ganas. Mungkin bukan kebetulan bahwa Goscinny dan Uderzo bukan orang Prancis ”asli”, kalaupun kata ”asli” ini jelas. Goscinny, yang pernah masuk tentara Prancis pada masa Perang Dunia II (sebagai pembuat poster), berdarah Yahudi Polandia; meskipun lahir di Paris, ia dibesarkan di Buenos Aires dan pernah tinggal di New York. Uderzo keturunan Italia. Nama keluarga itu berasal dari Dusun Oderzo di Italia, sekitar 70 kilometer arah timur laut dari Venesia. Ketika karya mereka terbit, dan disukai tak hanya oleh orang Prancis, tampaklah bahwa Eropa tak bisa menganggap nasionalisme lama dengan tanpa humor. Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang pahlawan tanah air—juga tentang heroisme umumnya—sudah ditinggalkan.
Dalam hal itu, Asterix berbeda dari para superhero produk Amerika. Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba dahsyat—seperti para penggambar itu belum pernah kecewa dalam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu.
Syahdan, Presiden Sarkozy menghadiahkan komik Asterix kepada anak Presiden Obama. Saya tak tahu apa pesannya. Tapi mungkin ini: di dunia ini, nak, humor dan ironi lebih menyelamatkan kita ketimbang impian tentang kekuasaan dan keagungan….
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo