Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN deras yang sudah berhari-hari mengguyur Wasior, Papua Barat, mencapai puncaknya pada Selasa dua pekan lalu. Lepas tengah malam, hujan semakin kejam—hingga subuh datang.
Pada sekitar pukul delapan pagi, Frans Sinadi mendengar suara keras. ”Seperti ada barang jatuh dari langit,” katanya. Mencari asal suara gemuruh itu, ia terkesiap melihat air bah turun dengan cepat dari Gunung Wondiboi menuju rumahnya di Distrik Wasior Kota. Heboh-hibuk Frans melarikan keluarganya ke kawasan perbukitan. ”Waktu itu saya mendengar banyak orang berteriak minta tolong,” ia mengenang.
David, 36 tahun, yang tinggal di Kampung Waskam, menyambar pakaian seadanya dan terbirit-birit mendaki bukit. ”Semua lari,” katanya. ”Ada yang naik ke atap rumah, ada yang terseret air.” Otis, jiran David, melihat batu-batu besar bergulingan terseret air bercampur lumpur. ”Tinggi air sekitar tiga meter,” katanya.
Tak semua berhasil menyelamatkan diri sebelum bah berlumpur dengan batang-batang kayu besar itu membinasakan Wasior. Pagi itu Frans kehilangan saudaranya, Christina Wasir. Otis tersengguk, tak bisa menyelamatkan putranya, Ishak Samuel Sampingan, yang masih berusia tiga tahun.
Sedikitnya 153 penduduk Wasior tewas, dan lebih dari seratus orang dinyatakan hilang. Korban luka lebih dari 500 orang. Ribuan penduduk mengungsi. ”Hutan di atas gunung sudah rusak,” kata Otis. ”Ada orang tebang hutan di gunung, tapi kurang tahu siapa.”
Sebagian penduduk memang curiga, penebangan liar di hutan cagar alam Gunung Wondiboi jadi biang keladi banjir besar. Tokoh masyarakat Wasior, Adam Arumsore, menceritakan banjir pernah datang pada 1929 dan 1955. Dua tahun lalu, banjir juga merendam kota, tapi Adam belum pernah melihat bah datang membawa kayu-kayu besar. ”Ini banjir paling besar yang pernah terjadi di Wasior,” katanya.
Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, Septer Manufandu, yakin banjir dipicu penebangan liar di Gunung Wondiboi. ”Saya pernah ke sana dan melihat hutan sudah rusak,” katanya. Isu pembabatan liar ini membuat Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bergegas menggagas analisis penyebab banjir.
Sayang, keberangkatan tim ahli Kementerian ke Wasior tertunda karena kehabisan tiket pesawat terbang. ”Jadi kami membuat desk analysis berdasarkan data pencitraan satelit,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto.
Selasa pekan lalu, Menteri Zulkifli Hasan memaparkan hasil analisis itu. Menurut dia, kerusakan hutan bukan biang keladi banjir bandang. ”Banjir Wasior bukan disebabkan pembalakan liar,” kata Zulkifli berkali-kali. Ia menjelaskan banjir datang dari Sungai Manggrai yang berada di kawasan labil.
Tanah di hulu sungai itu ambles, sehingga membentuk danau. Hujan deras sejak empat hari sebelum bencana membentuk genangan besar di atas gunung, tapi air tak lari ke kaki gunung karena diduga ada longsoran yang menyumbat mulut sungai.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Selasa dua pekan lalu curah hujan di Wasior lebih tinggi daripada biasanya. Tak kuat menahan debit air, tanggul dari longsoran akhirnya jebol, dan terjadilah banjir.
Bagaimana dengan kayu yang meluncur bersama banjir? ”Itu bukan kayu tebangan,” kata Zulkifli. Ia menunjuk kulit kayu yang terkelupas sepenuhnya, pertanda kayu sudah lama terendam air. ”Jadi itu kayu yang terbawa longsor dan terendam lama di danau,” katanya dengan lincah. Penjelasan Zulkifli ini diulangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berkunjung ke Wasior pekan lalu.
Hasil analisis tim ahli sungai Kementerian Kehutanan itu juga menunjukkan Wasior berada di kawasan konservasi, dan gunung di dekatnya memiliki tanah yang labil. Wasior dianggap daerah berbahaya, karena itu tak cocok dijadikan kota.
AWALNYA, Wasior perkampungan nelayan yang dikepung rawa dan hutan sagu. Pada 2002, Wasior menjadi ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, yang baru dipisahkan dari Kabupaten Manokwari. Sejak itu rawa diuruk dan hutan sagu dibabat. Di atasnya dibangun rumah dan gedung perkantoran.
Septer Manufandu menganggap bencana yang kini melanda Wasior berakar dari berubahnya daerah cagar alam menjadi kota. Tapi Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama menolak dikatakan tak awas akan bahaya yang mengintai.
Asisten I Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama, Piter Lambey, mengatakan sudah mulai memindahkan perkantoran dari Wasior ke Rasiei. ”Pemindahan itu sudah lama, karena kami anggap Wasior wilayah konservasi,” katanya. Namun, menurut Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, mestinya Wasior sejak awal sudah tak layak dijadikan permukiman.
Lembaga pemerhati lingkungan hidup itu mencatat, kota tersebut rentan bencana karena berada di wilayah rawan gempa, sementara tanahnya labil. Menurut Chalid, ada banyak kota di Papua Barat yang lokasinya seperti Wasior. Kota-kota itu bahkan lebih terancam karena hutan di dekatnya sudah rusak lantaran digarap perusahaan kayu dan pembalakan liar.
Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Amirullah, Jerry Omona (Papua Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo