Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Aturan Kebablasan Bupati Bireuen

Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh, telah mengeluarkan surat edaran tentang standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran agar sesuai dengan syariat Islam.

7 September 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh, telah mengeluarkan surat edaran tentang standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran agar sesuai dengan syariat Islam. Instruksi ini amat berlebihan karena semakin mempersempit ruang gerak warga Bireuen, terutama kaum perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat edaran yang diteken oleh Bupati Bireuen Saifannur pada 30 Agustus lalu ini berisi sederet ketentuan. Di antaranya larangan bagi warung kopi, kafe, dan restoran melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00 WIB, kecuali jika pelanggan itu ditemani mahramnya. Poin lain yang juga menyulut pro-kontra: laki-laki dan perempuan diharamkan makan dan minum di satu meja, kecuali jika bersama mahramnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aturan itu amat kebablasan, bahkan bisa dianggap terlalu kolot dalam menerapkan syariat Islam. Jika tujuannya untuk meredam pergaulan bebas atau perselingkuhan, hal itu bukan resep yang jitu. Pada zaman sekarang, mudah bagi orang untuk berkomunikasi dengan orang lain, bahkan berselingkuh, tanpa harus bertemu di warung kopi.

Aturan itu juga tak mudah dilaksanakan. Sulit membayangkan bagaimana warung kopi dan restoran, yang merupakan ruang publik, membuat garis pemisah antara pengunjung laki-laki dan perempuan. Kebijakan itu justru akan semakin membatasi ruang gerak perempuan dan memasung kreativitas masyarakat. Perkembangan bisnis juga bisa terganggu. Bagi kalangan pebisnis, adalah hal lumrah bertemu dengan klien yang berlawanan jenis kelamin dengan dirinya di tempat publik, seperti warung kopi dan restoran.

Surat edaran Bupati itu mudah pula disalahgunakan karena berisi poin-poin larangan serta kewajiban yang multitafsir. Walau tak ada sanksi hukum, aturan itu dapat dijadikan alat untuk membenarkan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat ataupun petugas. Kita seharusnya mengambil pelajaran dari kasus yang menimpa seorang perempuan di Kota Langsa, yang diperkosa delapan lelaki setelah kedapatan berduaan dengan pria bukan mahramnya, pada Mei 2014.

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh selama ini cenderung kontroversial. Tiga tahun silam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Utara pun mengesahkan qanun yang aneh. Isinya mewajibkan tempat wisata memisahkan pengunjung laki-laki dan perempuan. Ada juga larangan bagi penjual pakaian memasang baju pada maneken perempuan, dengan alasan dapat menggugah berahi laki-laki.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya mengevaluasi penerapan syariat Islam di Aceh. Kekhususan provinsi ini, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, perlu dikaji lagi jika cenderung merugikan dan menghambat kemajuan masyarakat Aceh.

Penerapan syariat Islam semestinya membuat Aceh lebih baik dalam segala aspek, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan syariat Islam hanya menjadi semacam "hiasan" dan komoditas politik lantaran korupsi dan ketidakadilan tetap tumbuh subur di Aceh.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus