Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Aturan Syariat dan Ranah Publik

Surat edaran Bupati Bireuen soal standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran yang sesuai dengan syariat Islam telah memicu kontroversi.

18 September 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TEMPO/M. Safir Makki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdallah
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat edaran Bupati Bireuen soal standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran yang sesuai dengan syariat Islam telah memicu kontroversi. Hal ini juga menunjukkan menguatnya kembali simbol-simbol agama di ruang publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peraturan tersebut pada kadar tertentu telah memasung kreativitas kaum perempuan karena melarang warung kopi melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00 WIB kecuali bersama mahramnya. Peraturan ini bukan hanya bentuk diskriminasi terhadap perempuan di ranah publik, tapi juga menerapkan praktik masyarakat paling purba yang kerap meminggirkan perempuan. Dalam catatan Komisi Nasional Perempuan (2016), sekitar 421 peraturan daerah telah mendiskriminasi perempuan. Anehnya, peraturan ini terus didaur ulang oleh pemerintah daerah di berbagai wilayah.

Peraturan lain dalam surat edaran Bupati Biruen yang menuai perdebatan adalah mengharamkan laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali ditemani oleh mahramnya. Sepintas aturan ini tak bermasalah. Tapi, bagaimana dengan kaum pelajar, misalnya, yang butuh ruang santai untuk berdiskusi dan mengerjakan tugas sekolah atau kampus? Bagaimana dengan politikus atau aktivis yang hendak berdiskusi di kafe untuk membincangkan kemaslahatan masyarakat? Haruskah setiap aktivitas di ranah publik harus ditemani mahram? Jika demikian, betapa repotnya hidup sebagai muslim.

Islam adalah ajaran yang mempermudah penganutnya. Jelas surat edaran itu sangat berlebihan. Hukum fikih dalam Islam mengatur interaksi non-muhrim laki-laki dan perempuan dengan sangat jelas. Mereka tidak boleh berdua-duaan jika alasannya (illat) adalah di tempat yang sepi. Jika di ruang publik, seperti pusat belanja dan pendidikan, hal itu tidaklah dilarang. Dalam konteks ini, warung kopi dan restoran merupakan ruang milik semua warga. Pada dimensi lain, warung kopi merupakan geliat perekonomian warga yang belakangan ini masif.

Surat edaran itu juga mengandung diskriminasi terhadap non-muslim dengan mengatur agar semua pramusaji berbusana muslim. Studi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta (2015) tentang peraturan daerah bernuansa agama mengkonfirmasi bahwa motif terbentuknya peraturan daerah berwatak sekuler dan kerap meminggirkan minoritas. Pertama, peraturan itu lahir sebagai respons terhadap gaya hidup masyarakat urban, seperti Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Kedua, formalisasi agama yang berbasis pada kepentingan kelompok. Contohnya Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Santunan Kematian. Ketiga, motif ekonomi-politik, seperti termaktub dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan Islam yang mensyaratkan lulusan sekolah dasar tidak bisa masuk sekolah menengah pertama tanpa ijazah "Syahadah" dari madrasah diniyah. Keempat, menguatnya identitas keagamaan di tingkat lokal, seperti peraturan Gubernur Jawa Barat pada 2011 yang melarang kegiatan jemaat Ahmadiyah.

Berbagai aturan dalam surat edaran Bupati Bireuen itu sangat tak rasional jika dilihat dalam bingkai negara modern yang semakin kompleks dari sisi institusi publik dan masyarakat yang heterogen. Jika tujuannya mendorong masyarakat agar tidak melanggar syariat Islam, aturan itu sangatlah keliru karena interaksi masyarakat tak hanya sebatas di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Masyarakat justru bisa sangat leluasa berinteraksi di dunia virtual.

Pembuatan aturan sepatutnya melalui pengkajian yang holistik dan mengarah pada kebaikan bersama. Aturan itu harus berkonsentrasi pada isu-isu yang bisa diterima oleh semua masyarakat, seperti korupsi yang akhir-akhir ini marak, bukan diarahkan pada isu-isu populis yang kerap dibungkus dengan pernak-pernik agama yang pada praktiknya jauh dari nilai-nilai luhur agama tersebut.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus