SAYA sangat tertarik membaca berita-berita kesibukan Woolcott
(Dubes Australia di Jakarta) yang mondar-mandir ke Departemen
Luar Negeri Jakarta, dan kata pihak Kedubes Australia itu
pernyataan Menlu RI mengenai penduduk asli Australia
(aborigines) adalah "sensitif buat Australia".
Memang buat orang awam nasib kaum aborigin Australia tidak
banyak diketahui, karena segala sesuatu mengenai Australia
hanyalah sorga-sorganya yang disiarkan di mass-media Jakarta
yang sumber-sumbernya bercap AIS atau KPA.
Pernyataan Menlu RI dianggap "sensitif" itu dapat didukung
dengan sobekan artikel seorang wartawan kulit putih dan
lain-iain artikel mengenai ini yang sudah banyak diketahui
dunia.
Menurut fotokopi terlampir (tak kami muat - Red.), harian Kompas
(Juli 1976) pernah memuat tulisan Soebagio Reksodipuro SH dan RB
Sugiantoro mengenai nasib kaum aborigin Australia ini. Sensitif?
Ya, bagi Australia. Tetapi konprehensif.
Nyata bahwa penduduk asli Australia nasibnya seperti "setengah
monyet-setengah orang": telah jadi sasaran peluru bangsa
kulit-putih Australia, menurut tulisan itu. Tetapi ada
orang-orang Australia yang berlagak menjadi "pendukung" Fretilin
di Tim-Tim, melalui CIET-nya di Australia dan Radio Australia.
Itu semua tidak dianggap "sensitif" oleh pihak Kedubes
Australia. Mereka selalu mengatakan bahwa suara-suara tidak
simpatik terhadap negara tetangganya "bukan sikap resmi
Pemerintah Australia". Masih ingatkah orang-orang Australia apa
yang pernah dikatakan PM Fraser kepada pemimpin-pemimpin Cina
mengenai kepemimpinan di Indonesia tempo hari? "Resmi" atau
"tidak resmi"kah ucapan-ucapan Fraser itu? Dan "sensitif" bagi
Indonesia, tidak?
Lagi menurut berita itu, Kedubes Australia menganggap "bahwa
bagaimanapun juga Australia sekarang sudah merupakan bagian
dunia ini". Tetapi orang-orang Australia juga lupa, terutama
yang membantu Fretilin di Australia, bahwa bagaimanapun menurut
sejarah dan geografi Timor-Timur adalah bagian yang tak
terpisahkan dari Timor "Barat" Indonesia. Timur dan Barat itu
adalah batas-batas yang telah dibuat Belanda dan Portugis di
abad ke-17, jauh sebelum Australia dijadikan tempat pembuangan
pesakitan-pesakitan Inggeris oleh James Cook -- itu nenek moyang
orang Australia putih yang secara pelanpelan melakukan genocide
terhadap kaum aborigin. Mengapa Pemerintah Australia sendiri
sangsi akan integrasi rakyat Tim-Tim dengan saudara-saudaranya
di Timor Indonesia? Apa maunya rakyat Tim-Tim berintegrasi
dengan kaum aborigin Australia, dan penduduknya dibinasakan
seperti halnya di Tasmania?
Bukan saja dalam isyu James Dunn Pemerintah Australia
menunjukkan jejak politik yang berlawanan terhadap negara-negara
yang penduduknya berkulit berwarna Australia jugalah yang
ikut-ikutan menginm serdadu bayaran (mercenaries) untuk melawan
rakyat Rhodesia yang sedang akan menaklukkan pemerintahan
minoritas putih, sekalipun jarak Australia-Rhodesia beribu-ribu
mil jauhnya. Serdadu-serdadu bayaran itu "bukan serdadu resmi
Pemerintah Australia" -- akan demikianlah pernyataan "resmi"
Pemerintah Australia.
Sampai sikap-sikap demikian itu dapat dirasakan di antara
diplomat-diplomatnya di luar negeri. Pernah salah satu
diplomatnya berbuat tidak senonoh di negeri yang rakyatnya
berkulit berwarna, tetapi Kemlunya di Canberra masih juga
membela: perbuatan kurang-ajar dianggapnya perbuatan yang "tidak
resmi". Padahal beradanya di luar negeri, diplomat dan mana
saja, mewakili kultur negerinya dan memakai fasilitas-fasilitas
resmi.
SUMARDI PRIJADI
PO Box 572,
Dar Es Salaam, Tanzania.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini