ADA sebuah nujum kuno, terekam daiam sebuah tulisan berbentuk baji. Para arkeolog menemukannya di sebidang sabak tanah liat, konon berasal dari Babiion. Isinya meramal dengan nada yang amat muram, "Hari kiamat tengah mendekat. " Kita tak tahu kapan hari akhir itu akan terjadi, tapi ~tanda-tandanya sudah tampak waktu itu juga, "Anak-anak tak Idgi mematuhi orangtua mereka, dan tiap-tiap orang ingin menulis buku...." Mengapa begitu muram tampaknya prospek kehidupan bila anak-anak memberontak dan bila tiap orang ingin menyatakan pikirannya ke dalam tulisan? Kita tak tahu. Kita cuma bisa menduga: si pembuat nubuat kuno itu mungkin seorang pendeta agung yang bertugas menjaga ketertiban iman dan kehidupan. Dalam posisi itu, menduga para dewa akan murka bila manusia resah. Pada saat manusia ingin mengembangkan ide sendiri-sendiri, pada saat jiwanya bangkit, dunia pun akan ambruk, dan seluruh tata akan tergulung. Kini kita tahu bahwa nujum Babilon itu tak terbukti. Kiamat tak terjadi meskipun anak-anak mengembangkan pikiran-pikiran ~yang tak dapat r~estu orangtua mereka. Kehidupan tak berakhir dalam ledakan besar meskipun orang-orang ramai menulis buku. Ketidakpatuhan memang menjengkelkan. Tapi seandainya hanya kepatuhan yang berjalan di didalam s~ejarah manu~sia. kita tahu. tak akan ada negeri yang merdeka dan tak akan ada pemikiran baru yang menghasilkan hal-hal besar. Namun, itulah mungkin yang tak bisa diimengerti oleh sang pendeta agung penjaga ketertiban dari Babilon. Baginya kebenaran telah diperoleh dan direkamnya di tangannya yang padu. Baginya garis sudah diletakkan dan itu ~angan diungkit-un~gk~it. Tapi "manusia berpikir, Tuhan ketawa", kata sebuah pepatah Yahudi. Novelis Milan Kundera, dalam sebuah pidato yang dibacakannya di musim semi di tahun 1985, yakin bahwa pepatah itu mengandung makna yang penting, karena baginya novel - buah kreativitas manusia - aaalah sesuatu yang ditulis sebagai "gema dari suara tawa Tuhan". Sebab, Tuhan yang Mahabijaksana tahu bahwa, betapapun pesat dan hebatnya manu~ia berpikir, pada akhirnya kebenaran ~yang ditangkapnya selalu akan luput. Pretensi besar untuk menganggap bahwa, sang kebenaran telak ada di tangan, bahwa dari sini semua keputusan tak boleh diganggu gugat dan ditandingi, di dalam pandangan Tuhan mungkin sama dengari pretensi katak ~yang hendak menjadi lembu. Ada yang menyedihkan dan sekaligu~s menggelikan disitu. Tapi ada orang-orang kreatif (bagi Milan Kundera khususnya para penuiis novel) yang bisa melihat situasi yang menyebabkan Tuhan ketawa seperti itu. Sebaliknya, ada para agelastes, mereka yang tak bisa geli, yang tak bisa ketawa. Bagi Kundera, tak mungkin perdamaian terJadi antara kedua sisi itu: para penci~pta dan para agelas~es berada di front dan keduanya mencoba saling mengalahkan. Sebab, para agelastes adalah mereka yang mengira -- seperti sang penujum muram dari Babilon - bahwa dunia akan hancur bila orang menulis buku. "~karena tak pernah mendengar suara tawa Tuhan," kata Kundera, "para agela~tes yakin bahwa kebenaran itu jelas, bahwa semua orang niscaya berpikir sama, dan bahwa diri mereka sendiri adalah persis seperti yang mereka pikirkan.~" Seorang novelis sebaliknya menciptakan "sebuah wilayah dimnana tak seorang pun memiliki kebenaran . . . tapi di mana setiap orang punya hak untuk dimengerti". Jika begitu besar perbedaan antara mereka yan~g pernah menden~gar "suara tawa Tuhan dan yang tak pernah bisa ketawa, apa yang terjadi? Jawab yang ringkas: sensor. Kita tahu, kata Kundera dengan nada sedih, dunia toleransi adalah dunia yang rapuh dan mudah lenyap. "Di kaki langit sana berdiri bala tentara agelaste~ mengawasi ~setiap tindak kita," kata Kundera, dan ia pun bercerita tentang sebuah perang ~yang tak dimaklumkan dan berlangsun~g tak habis-habisnya. Kundera pastiiah tahu apa yang dikatakannya: ia mengungkapkan itu semua dari lubuk pengalamannya sendiri. Ia terpaksa meninggal~kan tanah airnya ~keti~ka pemerintahnya mengharuskan para penulis, atas n~ama sosialisme, patuh kepada petunjuk dari atas. Ia kini tinggal di Paris. Yang menarik ialah bahwa tak seluruh nasibnya bisa dikatakan sebagai tragedi. Di dalam pembuangannya, Kundera mendapatkan mimbar yang lebih ~leluasa, tempat yang lebih tinggi. Dan mungkin itu adalah contoh bahwa apa pun yang dilakukan oleh para agelastes kepada seorang pengarang, ~yang tak bisa patuh, tampaknya yang akan terdengar akhirnya ad~alah suara tertawa dari atas: kita seperti diingatkan akan kearifan Tuhan ketika ia melihat kekuasaan manusia. Kekuasaan itu - seperti halnya pikiran manusia - terkadang tidak menyadari keterbatasannya untuk mengalahkan segala hal. Kekuasaan itu juga ibarat katak hendak jadi lembu: mau mengatur segalanya, menaklukkan segalanya - juga menaklukkan keyakinan--tapi apa yang ~terjadi selalu? Para de~wa yang murka dari nujum Babilon juga akhirnya hanya ~tercatat di tanah liat. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini