Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Duh apa dosaning raga?"
--petilan dari tembang dalam tari Panji Sepuh
Sang Buddha duduk bersemadi--ataukah ia jerangkong yang duduk bersila: sepasang mata yang mirip dua lubang di kranium, tubuh yang nyaris hanya 24 bilah tulang iga?
Patung Buddha yang kurus kering dengan rusuk mencuat itu, yang disimpan di Museum Lahore, Pakistan, tak mudah dilupakan. Ia tak kita temukan di pagoda-pagoda Myanmar dan Thailand, ia tak tampak di Borobudur atau di patung termasyhur di Nara, Jepang. Yang umumnya digambarkan: Sang Buddha yang montok.
Berasal dari abad ke-3, ditemukan di wilayah yang dulu disebut Gandhara (kini Pakistan-dan-Afganistan), arca mirip rangka manusia itu mengisahkan satu babak dalam hidup Sang Buddha: pada satu titik dalam enam tahun pengembaraannya mencari jalan pembebasan dari hasrat jasmani, ia berpuasa, hampir tak makan, berhari-hari. Duduk bersemadi di bawah pohon Bodhi, berangsur-angsur ia merasakan perubahan pada tubuhnya.
"...sebagaimana labu pahit yang dipotong mentah mengeriput retak oleh hujan dan matahari, begitu juga kulit kepalaku mengeriput karena makan yang sedikit. Dan ketika aku ingin meraba kulit perutku, yang terasa hanya rusuk.... Untuk mengendurkan ototku, aku gosok-gosok anggota badanku, dan bulu tubuh pun rontok berjatuhan...."
Dalam riwayat yang ditulis di pelbagai teks, disebutkan bahwa Sang Buddha sejak itu tak melanjutkan pertapaannya. Ia akhirnya memutuskan bahwa ia, juga siapa pun, tak boleh berkata "tidak" kepada dirinya sendiri--pada saat diri itu berupa tubuh.
Sebab apa sebenarnya yang hendak didapat dari bertapa atau, dalam versi lainnya, berpuasa? Kemampuan menentang tubuh?
Dalam pelbagai ekspresi peradaban, manusia memang sering menunjukkan kecenderungan menampik, bahkan menista, tubuh. Di abad ke-4 sebelum Masehi, di Yunani, Plato meletakkan epithymetikon di bagian bawah struktur sukma manusia. Di sinilah bersembunyi dan berkecamuk hasrat erotik, rasa lapar, dan haus--singkat kata: hal-hal yang badani. Bagian ini--sebagaimana juga pusat amarah dan semangat--harus dikendalikan oleh logistikon, nalar.
Pengaruh pandangan ini luas dan lama, dalam pelbagai variasinya. Setidaknya acap ditemukan kesejajaran antara pandangan Platonis dan ajaran lain, terutama dalam agama-agama yang menegaskan sifat tubuh yang fana dan sifat roh yang kekal, atau yang menganggap pentingnya yang rohani di atas yang jasmani. Meskipun ada anggapan di kalangan muslim bahwa manusia pra-Islam hidup dalam kondisi jahiliah, filsafat Yunani yang menyebar cemerlang sebelum Quran itu juga masuk ke karya sejumlah pemikir Islam. Terutama dalam theori ethis Ibnu Miskawayh dari Persia (932-1030) yang mengadopsi pemikiran Plato tentang tiga "lapis" sukma manusia: "Siapa yang mengendalikan nalarnya ia disebut arif bijaksana; siapa mengendalikan amarahnya disebut berani; siapa yang mengendalikan nafsunya disebut santun."
Tapi Plato dan Ibnu Miskawayh tak bisa meyakinkan selamanya. Di abad ini, nafsu, hasrat, dan peran tubuh justru berbalik posisinya. Setelah apa yang ditemukan dalam analisis Freud, Lacan, dan Kristeva mengenai psike manusia, disimpulkan, semua hal dalam epithymetikon ternyata berperan besar dalam proses peradaban. Dan ketika orang berasumsi--seperti dalam dualisme Descartes--bahwa tubuh tak terpaut dengan nalar dan nalar tak bertaut dengan tubuh, apa yang membatasi keduanya?
Pertanyaan yang tak terjawab. Bahkan dualisme itu kini harus menghadapi apa yang belum ada di masa lampau: penelitian neuroscience tentang bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai budaya dibentuk oleh sesuatu yang jasmani: sistem saraf. Kini makin ganjil untuk menyisihkan pengaruh tubuh dalam kebudayaan--bahkan berdasarkan pengamatan sehari-hari. Lihat Ramadan. Ketika umat Islam diharapkan mengontrol yang badani dengan kekuatan rohaniahnya, yang meriah justru kreasi dan konsumsi kuliner. Dalam 12 jam, orang berubah dari lapar ke gembul.
Sang Buddha tentu tak berubah jadi gembul. Tapi dalam askesisnya yang keras, ia justru berangsur-angsur merasakan dan memperhatikan tubuhnya sampai rinci, sampai kulit dan bulu.
Mungkin itu seharusnya nilai puasa: bukan menahan nafsu tapi sebenarnya hanya membuatnya eksplosif setelah magrib, bukan pula menaklukkan yang jasmani, melainkan mengapresiasi tubuh pada hal-hal yang tampaknya bersahaja. Dengan itu hidup terasa bergetar di jangat dan pori-pori.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo