Memang agak aneh kalau ada orang yang masih percaya bakal ada kudeta di Indonesia. Jika itu dua pekan lalu, masih bolehlah merasa waswas. Tapi, sekarang, setelah semua petinggi militer mengeluarkan jaminan, apa yang masih dikhawatirkan? Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tenang-tenang saja meninggalkan negeri ini karena ia begitu yakin tak akan ada yang menggoyang kursinya. Dan jika pun sekali waktu ada panser yang mondar-mandir di Ibu Kota, percayalah, itu cuma "pemanasan mesin"—meniru ucapan seorang perwira tinggi.
Isu kudeta sudah merebak sebulan lebih. Sebagaimana halnya isu lain, isu ini memang tumbuh subur karena secara terbuka orang mengait-ngaitkan berbagai permasalahan yang konon bisa melahirkan kudeta militer. Setiap ada berita yang menyangkut Tentara Nasional Indonesia (TNI), selalu saja dikaitkan dengan isu itu. Kebetulan saja, berita-berita menyangkut TNI belakangan ini nadanya agak memojokkan. Terutama sekali menyangkut TNI Angkatan Darat, yang pada masa Orde Baru mendapat perlakuan yang luar biasa baiknya dari Presiden Soeharto.
Empat jenderal yang dipensiun pun masih juga dikaitkan dengan isu kudeta. Padahal, keempat jenderal yang kini duduk di kabinet itu (Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan Freddy Numberi) pensiun secara wajar-wajar saja karena mereka meninggalkan jabatan militer. Konsep tentara pensiun jika memegang jabatan sipil justru dibuat pada masa Wiranto (kini Menko Polkam) dan Bambang Yudhoyono (Menteri Pertambangan dan Energi) masih aktif memimpin TNI. Jadi, pemensiunan itu bukanlah harus dicari-cari sebagai salah satu upaya "menggagalkan kudeta". Juga, pemensiunan itu tak ada kaitannya dengan gelagat KPP HAM Timor Timur yang akan menyebut-nyebut Jenderal Wiranto sebagai salah satu perwira tinggi militer yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pascajajak pendapat.
Situasi saat ini memang sangat berbeda dengan masa-masa Orde Baru. Barangkali agak mirip dengan tahun 1952—ketika itu ada moncong meriam yang mengarah ke Istana—ketika TNI harus tunduk kepada dominasi sipil. Atau, bagi TNI, jangan-jangan lebih buruk dari itu. Sebab, saat ini kapabilitas TNI untuk menciptakan stabilitas selalu dipertanyakan, dan posisi politik TNI pun berada pada titik terendah. Belum lagi para petinggi TNI harus menghadapi ancaman diadili atas tuduhan pelanggaran hak asasi di Timor Timur. Dalam situasi seperti inilah orang pun mereka-reka, jika TNI ingin tampil kembali di percaturan politik nasional, satu-satunya jalan adalah kudeta.
Yang kemudian patut disyukuri, reka-rekaan seperti itu tak ada di kalangan warga TNI. Setidak-tidaknya, begitu tersirat dari jaminan para petinggi TNI. Kalau begitu adanya, siapa takut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini