Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Teknologi Finansial untuk Pendanaan Ekonomi Kreatif

Bagaimana teknologi finansial dapat mendanai ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual yang terhambat aturan perbankan yang ketat?

16 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menyiapkan kebijakan yang memungkinkan karya intelektual menjadi jaminan utang.

  • Pembiayaan bisnis berbasis kekayaan intelektual terhambat aturan perbankan yang ketat.

  • Apa peran teknologi finansial dalam pendanaan ekonomi kreatif?

Gusti Raganata
Head of Public Policy Finantier dan Peneliti Ekonomi Digital Sigmaphi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan yang memungkinkan hak kekayaan intelektual, misalnya konten karya YouTuber, bisa menjadi jaminan utang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun kerangka regulasinya untuk sektor perbankan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mempersiapkan perangkat implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Ekonomi Kreatif. Bagaimana teknologi finansial dapat berperan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keseriusan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan ekonomi kreatif telah dimulai dengan pendirian Badan Ekonomi Kreatif. Badan ini dibentuk untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan kontribusi ekonomi kreatif bagi kemajuan ekonomi. Hasilnya, kontribusi ekonomi kreatif pada 2019 mencapai Rp 1.153,4 triliun atau 7,3 persen produk domestik bruto (PDB) nasional dan ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual dapat menyerap lebih dari 17 juta tenaga kerja. Selain itu, di akhir periode pertama Jokowi, lahir Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif yang menegaskan kepastian hukum dan pentingnya ekonomi kreatif bagi Indonesia.

Kini, dengan terbitnya peraturan pemerintah tadi, kekayaan intelektual dapat dijadikan obyek jaminan utang. Meskipun telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Paten, kekayaan intelektual dalam ekonomi kreatif masih menjadi tantangan dalam pembiayaan dari lembaga pembiayaan bank serta nonbank. Teknologi finansial dapat pula berperan dalam pembiayaan tersebut.

Teknologi finansial sudah disebutkan dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah sebagai alternatif pembiayaan bagi usaha berbasis kekayaan intelektual. Hal ini merupakan angin segar, mengingat rezim aturan perbankan yang sangat ketat. Contoh nyata pemanfaatannya dapat dilihat di Jepang. Keberhasilan perusahaan rintisan berbasis equity crowdfunding (pendanaan patungan dalam bentuk kepemilikan saham) di sana menggambarkan bagaimana teknologi finansial dapat memberikan modal bagi musikus-musikus jalanan untuk berkarya dan mengadakan pertunjukan sekaligus memberikan keuntungan kepada pemilik saham. Indonesia sangat mungkin untuk menjalankannya juga.

Tantangan Pembiayaan

Ada beberapa tantangan dalam pembiayaan bagi ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual. Pertama, belum adanya lembaga yang melakukan valuasi atau penilaian atas kekayaan intelektual. Pembiayaan yang menggunakan kekayaan intelektual sebagai jaminan merupakan metode yang lazim digunakan secara internasional. World Intellectual Property Organization (WIPO), organisasi PBB yang menangani hak kekayaan intelektual, membuat skema bagaimana peminjam menjanjikan paten, merek dagang, atau karya berhak cipta mereka; jaminan itu akan meningkat nilainya; dan potensi pinjaman pada akhirnya bisa meningkat. Jika jumlah transaksi dan arus kasnya meningkat, valuasi kekayaan intelektual tersebut akan makin tinggi. Penilaian dan siapa yang melakukan valuasi inilah yang menjadi titik kunci untuk membuka peluang pembiayaan kekayaan intelektual di Indonesia.

Kedua, masih sedikitnya kekayaan intelektual yang terdaftar dan sistem royalti yang belum banyak dipahami oleh pelaku ekonomi kreatif. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, hanya 900 ribu atau 11,05 persen dari 8,2 juta pelaku yang memiliki hak atas karyanya. Rendahnya pendataan ini membuat porsi dari sistem royalti yang dapat dihitung menjadi sedikit. Akibatnya, muncul anekdot bahwa pendapatan musikus di Indonesia, misalnya, lebih banyak dari konser ketimbang penjualan atau royalti lagunya.

Ketiga, tingginya jumlah pelaku ekonomi kreatif yang masih unbanked (tidak memiliki rekening bank) dan underbanked (memiliki rekening bank tapi belum bisa mengakses produk keuangan lain, seperti kartu kredit). Dengan begitu, mereka tergolong usaha mikro, kecil, dan menengah yang belum memenuhi prinsip penilaian kredit bank. Prinsip itu adalah 5C, yakni character (karakter), capital (modal), capacity (kemampuan melunasi kewajiban), condition of economy (kondisi ekonomi), dan collateral (agunan). Keadaan makin sulit karena Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK belum menjangkau informasi debitor nonbank, seperti nasabah asuransi, sekuritas, dan layanan teknologi finansial.

Peran Data

Perkembangan pesat model bisnis teknologi finansial telah diadaptasi OJK melalui sejumlah aturan. Beberapa aturan itu antara lain mengenai peer to peer lending atau pinjam-meminjam uang secara langsung antara kreditor dan debitor; securities crowdfunding atau sistem pendanaan dari investor secara patungan; serta regulatory sandbox, yakni mekanisme OJK untuk menilai keandalan proses hingga tata kelola bisnis berbasis teknologi finansial.

Aturan OJK ini sebetulnya dapat menjadi dasar hukum bagi teknologi finansial dalam pembiayaan usaha berbasis kekayaan intelektual. Namun ketersediaan data kekayaan intelektual hingga data pemanfaatan royalti belum dapat dieksploitasi karena belum tersedia atau tidak terkoneksinya data-data tersebut melalui Open Application Programming Interface (API), aplikasi yang bisa diakses oleh publik dan dapat diimplementasikan ke dalam berbagai sistem.

Data pencatatan kekayaan intelektual di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM serta Online Single Submission (OSS) pada Kementerian Investasi merupakan contoh dari dua big data yang perlu segera memiliki Open API. Undang-Undang Cipta Kerja mengamanatkan agar usaha mikro, kecil, dan menengah segera mendaftar agar dapat membantu teknologi finansial mengidentifikasi pelaku ekonomi kreatif secara cepat dan akurat. Apalagi jika semua Open API telah sesuai dengan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP), yang baru diluncurkan oleh Bank Indonesia untuk mengurangi data yang asimetris dan sistem API yang berbeda-beda di antara lembaga keuangan.

Selanjutnya adalah pencatatan data, seperti arus kas royalti, yang beredar di platform digital. Data seperti ini sangat penting dan dapat dikumpulkan oleh lembaga serupa badan layanan umum (BLU). Dengan adanya pencatatan data itu, pendapatan pembuat konten digital, misalnya, dapat dengan lebih mudah diketahui. Hal ini akan menguntungkan sektor pembiayaan dan pajak.

Kelembagaan dan Regulasi

Ada beberapa hal utama yang kini perlu segera dilakukan. Pertama, pemerintah dapat membentuk lembaga untuk pendaftaran, pencatatan transaksi, dan penjaminan kekayaan intelektual berbentuk BLU. Lembaga ini harus mampu mengaudit kekayaan intelektual yang direkomendasikan WIPO. Tujuan audit adalah menemukan aset yang tidak digunakan atau kurang dimanfaatkan; menentukan kepemilikan aset; dan mengidentifikasi risiko, yaitu pelanggaran atas hak kekayaan intelektual. Nantinya lembaga ini dapat bekerja sama dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) untuk membangun sistem penilaian yang sesuai bagi kekayaan intelektual di Indonesia.

Kedua, peningkatan infrastruktur informasi serta data alternatif melalui pendataan dan penilaian. Hal ini dapat dilakukan segera dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi dan aturan mengenai pemanfaatan data alternatif bagi teknologi finansial yang lebih spesifik. Adanya kepastian hukum atas arus data tersebut akan membuka jalan untuk makin banyak pemangku kepentingan yang mendukung pengembangan ekosistem ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual, khususnya keterlibatan teknologi finansial dalam pembiayaannya.

Hal-hal tersebut dapat membuka kesempatan pada teknologi finansial untuk mengisi kesenjangan pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif, sebagaimana telah dinikmati musikus berbakat di Jepang. Ujung dari semua ini adalah upaya menciptakan ekosistem dan pasar yang likuid untuk berbagai produk serta jenis kekayaan intelektual sehingga ekonomi kreatif negeri ini akan makin tumbuh dan berkembang secara sehat.

 



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus