Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Baharuddin Lopa, mengusut Hakim J. Serang yang diduga menerima suap ketika mengadili perkara Tony Gozal (TEMPO, 21 Desember, Hukum). Dalam kasus itu Tony Gozal didakwa melakukan manipulasi atas tanah bekas terminal dan pinggiran pantai Ujungpandang. Jaksa Palebangan menuntut Tony dengan hukuman penjara 17 tahun. Majelis hakim yang diketuai Serang ternyata memvonis Tony dengan vrijsvraak (bebas murni). Berdasarkan KUHAP, perkara bebas murni masih bisa dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sejak dibacakannya vonis Tony, banyak kalangan terutama kalangan awam hukum, terkejut. Palebangan sendiri, konon, terkejut. Alumnus Fakultas Hukum UGM ini, yang pernah menyeret Robby Cahyadi masuk bui, wajar kaget. Mereka yang mendalami hukum secara yuridis bisa menerima amar keputusan Serang yang mematahkan dalil hukum jaksa dengan bersandar pada dalil-dalil hukum pengacara Tony. Masalahnya, barangkali, bagaimana dengan "rasa keadilan" yang diinginkan masyarakat. Apakah tidak tertutup kemungkinan, misalnya, terdakwa memang bersalah, tapi kebetulan berkas tuntutan sedikit lemah. Para hakim tentu memahami ini - apalagi, ketika belajar ilmu hukum mereka juga dijejali dengan pelajaran sosiologi hukum, filsafat hukum, dan sebagainya. Menurut Serang, yang mengutip Alkitab, "Janganlah kamu berbuat tidak adil di depan Tuhan-Mu." Moga-moga, ketika membaca keputusannya, selain Terdakwa Tony Gozal yang ada di depannya, Serang menyadari kehadiran Pencipta-Nya di depannya. Setelah Hakim Z. Loudoe dipenjarakan beberapa tahun silam, upaya Baharuddin mengusut kemungkinan disuapnya Serang cukup membikin kaget. Cerita klasik pengajar hukum tentang hakim di Berlin kembali tersobek-sobek. Konon, di Berlin dulu orang amat percaya pada pengadilan. Mengapa? Karena di sana bertahta hakim yang tidak terbeli oleh raja sekalipun. Isu "mafia peradilan" dulu seperti mengatakan hakim kita ada yang bisa dibeli. Keinginan Baharuddin mengikis habis "penyelewengan", termasuk yang dilakukan aparatnya, patut dihargai. Seandainya Baharuddin Lopa menyaksikan pementasan Rendra, ada sebait puisi yang baik dibacanya. Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air akan mengikis batu AIDIR AMIN DAUD Jalan Danau Poso 26 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini