Kalau benar Imam Tantowi (penulis cerita dan sutradara film Carok) hanya sekadar tertarik pada lokasi kapal-kapal tua di pantai Marunda, Jakarta Utara, untuk dijadikan awal ide cerita film tersebut (TEMPO, 9 November), kita patut meragukan kemampuan Tantowi. Dalam film Carok, Tantowi hanya dapat menampilkan kemampuan El Manik (yang memang aktor bukan artis seperti Roy Marten atau Robby Sugara dan Barry Prima atau Advent Bangun dalam memerankan tokoh. Ini sebagai kompensasi ketidakmampuan Tantowi dalam men-survey (meriset) kehidupan masyarakat Madura terlebih dulu. Film Carok bukan hanya sebuah film aktion seperti film adu jotos dan senjata, tapi mempunyai banyak faktor yang harus disimak, seperti psikologis, sosial budaya (kemasyarakatan), geografis, demografis, religius (kepercayaan magis), dan segi hukum. Carok merupakan salah satu corak perkelahian yang kebetulan terdapat di daerah Madura, yang bertemperamen tinggi dan tidak akan selamanya harus dipertahankan dalam berpikir lebih maju. Wajar kalau Kapolres Bangkalan, Letkol Pol Ivan Sihombing, melarang film Carok diputar di daerahnya, kendati telah lolos di daerah Sumenep dan Pamekasan. Sebab, barangkali, Ivan lebih tanggap. Tapi saya yakin kalau masyarakat telah tahu, ide pembuatan film itu hanya bermula dari kapal-kapal tua di Marunda, film itu tentu saja tak dapat ditolerir, meski telah masuk dalam nominasi di Bandung. Aktion film itu kita boleh angkat jempol,tapi latar belakang yang tanpa riset itu patut kita meninjau kembali vonis wasit FFI di Bandung yang lalu. Kalau kita tinjau dari beberapa segi, akan kita temui garis besar Carok sebagai berikut: Pertama, dari motivasi sosial budaya, Carok umumnya didorong oleh dendam. Dendam banyak disebabkan adanya kepercayaan magis, pengaruh giZi dan kebudayaan masyarakat. Kepercayaan terhadap magi banyak diberikan oleh para kiai (mayoritas agama Islam) dengan fatwa-fatwanya terutama dalam hal kekebalan badan dengan maksud baik, yaitu tidak takabur (congkak) dan hanya dipergunakan untuk membela diri. Namun, ini justru banyak disalahgunakan untuk mencoba keberanian para pendekar di sana, sehingga kalau sampai terjadi Carok dan mengakibatkan terbunuhnya salah seorang, maka yang kalah (terbunuh) seanak cucunya mempertahankan rasa dendam, dengan prinsip siapa yang membunuh harus pula dibunuh. Di sini peranan para kiai sangat dominan bahkan kata-katanya lebih berharga dari pejabat pemerintah. Pengaruh gizi makanan pun tidak sedikit menyelimuti temperamen masyarakat di sana, yang rata-rata kurang menyukai makanan sayur dalam menu sehari-hari,yang melulu daging tanpa lauk selain nasi atau jagung. Kebudayaan masyarakatnya pun, seperti pengajaran memegang celurit/arit sejak kecil, memberikan pengaruh. Mereka sejak kecil sering mencoba-coba mempermainkan senjata tersebut dengan anak-anak lainnya, sehingga kebiasaan ini dibawa-bawa sampai dewasa. Motivasi kedua, perasaan cemburu yang berlebih-lebihan dari seorang suami terhadap pergaulan istri. Umumnya masyarakat Madura nelayan yang sering bepergian sampai berhari-hari atau berbulan-bulan. Menurut adat di sana, dilarang seorang laki-laki bertamu pada salah satu keluarga yang suaminya sedang tidak di rumah sangat membenci seorang laki-laki yang mengambil istri bekas jandanya, atau mengambil istri yang bekas tunangannya. Kalau ini sampai dilanggar tanpa ada penengah orang yang berpengaruh (misalnya para kiai), Carok tak terhindarkan. Perasaan harga diri yang tinggi (kalau di Bugis SulSel: Sirri) yang kurang seimbang dengan rasionya. Persoalan waris, utang-piutang, air, tanah, atau kata-kata sindiran bisa menjadi Carok dengan modus operandi yang dilakukan dengan celurit/arit. Si pelaku merasa, dengan membunuh lawannya, dia telah dapat membersihkan dirinya di mata lingkungannya. Sehingga motto di sana tetap, "Etembang pote mata lebih bagus potea tolang." (lebih baik berputih tulang daripada berputih mata). Dari segi hukum, Carok di zaman kolonial Belanda diartikan perkelahian satu lawan satu untuk mencoba kekebalan yang berkehendak duel meet, dan konon justru harus dihadiri oleh pejabat setempat (dahulu belum ada Kepolisian) di arena terbuka untuk umum. Bagi mereka yang kalah, kepalanya dipotong dan yang menang dianugerahi jabatan prajurit. Itu dulu. Tapi dengan adanya undang-undang (KUHP), Carok dilarang keras dianggap suatu perkelahian dengan senjata tajam dan direncanakan lebih dahulu hingga salah satu di antaranya luka-luka atau tewas. Jadi, Carok termasuk kategori perbuatan jahat dengan sengaja dan direncanakan terlebih dulu. Kalau sampai tewas, maka unsur-unsur Pasal-Pasal 338 atau 340 maupun 351 (3) KUHP terpenuhi. Unsur terpenting di sini menghilangkan jiwa orang lain dengan sadar dan direncanakan. Bahkan, saya cenderung menambahkan adanya unsur kebanggaan diri si pelaku atau golongan masyarakat lingkungannya. Perbuatan Carok ini jelas bertentangan dengan agama, hukum negara, kemasyarakatan, adat, serta kebudayaan dari nilai-nilai kehidupan masyarakat di daerah Madura sendiri. Sehinga pantas kalau Ivan Sihombing melarang film Carok diputar di daerahnya. Justru saat ini Pemerintah Daerah setempat memasang poster besar-besar: Kalau sampai terjadi Carok, yang kalah masuk kubur dan yang menang dibuang ke Nusa Kambangan, di sepanjang jalan dari daerah Kamal (Bangkalan) sampai Kalianget (Sumenep) . HERMAN HIDAYAT, S.H. Gedung Patra (309) Jalan Gatot Subroto Kav 32-34, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini