Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohman Budijanto*
*) Wartawan Jawa Pos
"SIAP!" Ungkapan seperti itu kian lazim kita temukan dalam percakapan sehari-hari, termasuk dalam pembicaraan via berbagai fasilitas telepon seluler. Kata sejenis yang sering dipakai misalnya (de)lapan enam, mohon izin, lapor, (di)laksanakan, ada perintah, meluncur, senpi, pasukan, TKP, juga (koma)ndan.
Kata-kata atau terminologi itu adalah istilah bahasa aparat, terutama polisi dan tentara, yang kemudian menyusup ke dalam bahasa sehari-hari warga sipil. Kata-kata yang semula menunjukkan hierarki sistem pelaporan (juga sandi) dalam organisasi aparat kini dengan bebas dipakai untuk variasi percakapan. Orang kebanyakan menjadikan "bahasa aparat" sebagai varian percakapan yang asyik.
Sebagian istilah itu bisa langsung dipahami, seperti siap, mohon izin, lapor, dan ada perintah tadi. Sebagian yang lain membutuhkan tafsir, seperti (de)lapan enam—semula ini kata sandi yang berarti "bisa dimengerti". Lebih jauh, kadang muncul sindiran dengan ungkapan "didelapan enam", yang berarti kasus yang berakhir damai, tak sampai ke pengadilan, dan berbau transaksi.
Istilah TKP, yang merupakan singkatan dari "tempat kejadian perkara", mengalami perluasan arti menjadi tempat pertemuan atau lokasi kencan atau bisa juga tempat kejadian perkara yang sesungguhnya (misalnya untuk peristiwa kecelakaan atau kejahatan). Sedangkan (koma)ndan bisa saja dipakai ketika seseorang menyebut istri, suami, orang tua, anak, bos, atau siapa pun yang menjadi lawan percakapan.
Kata-kata itu seperti kehilangan sifat hierarkis dan mengalami demokratisasi. Siapa pun yang menyebut orang lain (koma)ndan (atau "bos") belum tentu berposisi lebih rendah. Kata itu bisa dipakai dengan santai, tanpa disertai imajinasi superior dan inferior. Kata-kata milik aparat keamanan (polisi atau tentara) tengah mengalami proses pembebasan dari maksud awal, sehingga kaum sipil santai memakainya dengan menghilangkan aturan dasarnya yang baku dan kaku.
Tentu saja, di kalangan aparat, demokratisasi kata-kata itu tak terjadi. Sebutan (koma)ndan atau mohon izin atau ada perintah tetap dipakai oleh aparat berpangkat rendah kepada yang lebih tinggi. Di kalangan aparat, kata-kata ini memang harus tetap hierarkis, agar tak terjadi kekacauan rantai komando. Kabar baiknya, tak pernah terdengar protes dari aparat ketika istilah-istilah khas mereka dipakai dengan bebas oleh masyarakat kebanyakan. Memang, kalau mau memprotes, juga repot, karena bahasa pada hakikatnya memang tak ada yang punya.
Bila dirunut lebih dalam, istilah yang digunakan polisi dan tentara justru belum banyak dipakai orang sipil sebelum era reformasi. Dominasi militer di masa Orde Baru tak merembeskan bahasa patah-patah khas aparat itu ke kalangan umum. Aparat keamanan masih dipandang berjarak agak jauh secara psikologis. Mereka seperti kasta kesatria yang dipandang dengan semacam kegentaran oleh umum. Apalagi saat itu dominasi dwifungsi tentara menjalar ke mana-mana. Tentu saja birokrasi pemerintah mendapat pengaruh penggunaan akronim dari militer.
Reformasi yang meniupkan angin kebebasan dalam percakapan publik ikut meletikkan kata-kata khas polisi dan tentara ke ruang publik. Wartawan yang ditugasi meliput secara tetap untuk waktu tertentu di kantor polisi atau markas besar tak jarang menjadi "agen" pengenalan kata-kata aparat ini. Perkenalan dan penyebaran istilah ini tak harus melalui medianya, tapi bisa lewat percakapan sehari-hari yang menyelipkan kosakata yang biasa dipakai aparat tadi.
Contohnya kata senpi. Akronim dari "senjata api" ini kian populer di masyarakat berkat media sosial dan media konvensional. Kadang maknanya kabur karena jenisnya tak disebut, misalnya pistol atau senapan. Kata aparat lain yang diperkenalkan media ke ruang publik misalnya curanmor (pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan), curat (pencurian dengan pemberatan), miras (minuman keras), pekat (penyakit masyarakat), lidik (penyelidikan), sidik (penyidikan), tipikor (tindak pidana korupsi), dan tentu saja narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo