Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi
Pada 1920-an, buku-buku mengenai bahasa dan sastra sering menggunakan sebutan Melajoe. Buku digunakan dalam pelajaran di sekolah atau bacaan umum. Buku-buku itu agak memicu penasaran mengenai keseringan sebutan Melajoe ketimbang Indonesia. Para tokoh politik kebangsaan, sastrawan, dan wartawan mulai berikhtiar mengenalkan Indonesia sebagai gagasan dan imajinasi. Ikhtiar serius belum memberi pengaruh besar dalam penentuan kurikulum pendidikan kolonial atau penerbitan buku. Sebutan bahasa Indonesia memang ada dalam Sumpah Pemuda (1928) meski tak gampang menular ke penerbitan buku atau penentuan pelajaran di sekolah.
Pada 1926, Cursus Goeroe Bahasa di Weltevreden mengeluarkan buku berjudul Melajoe 'Oemoem. Buku dicetak oleh Boekhandel Visser & Co. Buku tiga jilid itu digunakan dalam pengajaran bahasa di Kweekschool, Normaalschool, dan Opleidingsschool. Di halaman pendahuluan, kita membaca maksud penerbitan buku: "Oleh karena perloe diadakan soeatoe kitab oentoek mempeladjari bahasa Melajoe bagi mereka jang boekan orang Melajoe…." Kitab bahasa itu sederhana tapi menantang murid-murid agar serius mempelajari bahasa Melajoe, tak melulu sebagai urusan bahasa. Pengetahuan adab dan sastra mesti dimiliki agar tak repot dalam mengerjakan tugas-tugas dalam buku. Di halaman 39, murid mendapat tugas mengartikan "boeah tangan", "boeah toetoer", "boeah ratap", "boeah pikiran", "boeah moefakat", "boeah hati", "berat moeloet", "ringan moeloet", "besar moeloet", "manis moeloet", dan "lantjang moeloet".
J. Kats menggarap buku berjudul Tjontoh-Tjontoh Pertjakapan Bahasa Melajoe Oentoek Moerid Jang Bahasanja Boekan Bahasa Melajoe. Pada 1927, buku itu dicetak ulang keempat. Buku dicetak oleh A. Emmink (Weltevreden). Di halaman 3, murid dikenalkan kata "roemah", "bilik", "dinding", "lantai". Kata-kata digunakan dalam pembuatan kalimat. Kats memberi contoh: "Ini bilik roemah sekolah", "Roemah si Ali besar", "Lantai ini lebar". Pelajaran-pelajaran sederhana agar murid bisa mengerti dan menggunakan bahasa Melajoe. Jadi, sebelum kaum muda dan kaum politik kebangsaan bermufakat menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Melajoe adalah pelajaran dan pengetahuan umum.
Pada 1929, terbit Boekoe Peladjaran Bahasa Melajoe susunan M. Mardjana dan R. Sasrasoeganda. Buku jilid III itu digunakan untuk sekolah-sekolah di Jawa. Kita menduga judul dan isi buku tak memiliki keharusan mengikuti Sumpah Pemuda. Pada 1932, Boekoe Peladjaran Bahasa Melajoe dicetak ulang ketiga. Di sekolah-sekolah, buku pelajaran masih menggunakan sebutan bahasa Melajoe, belum bahasa Indonesia. Di halaman pendahuluan, dua penulis memberi keterangan isi buku: "menjalin kalimat-kalimat kepada bahasa Melajoe", "peladjaran bahasa", dan "menjalin tjeritera-tjeritera jang pendek kepada bahasa Melajoe". Isi buku mengajak murid-murid di Jawa belajar bahasa Melajoe sebagai bahasa "modern" dan berguna bagi kemajuan dalam mengerti ilmu pengetahuan.
Dulu pelajaran bahasa Melajoe memiliki keragaman. Di sekolah, penerbitan buku, pers, dan sastra, penggunaan bahasa Melajoe masih memuat sekian perbedaan tata bahasa dan corak. Kats dalam buku berjudul Warna Sari Melajoe (1928) memberi uraian tentang perbedaan corak bahasa Melajoe: Hollandsch-Maleisch (Bahasa Melajoe Belanda), Chineesch-Maleisch (Bahasa Melajoe Tjina), Batavia-Maleisch (Bahasa Melajoe Betawi), Java-Maleisch (Bahasa Melajoe Djawa), Moluksch-Maleisch (Bahasa Melajoe Moloeko), dan Arabisch-Maleisch (Bahasa Melajoe 'Arab). Contoh-contoh berupa berita, cerita, surat, iklan, dan percakapan membuat pembaca gampang memahami perbedaan dalam bahasa Melajoe.
Di Indonesia, penulisan buku pelajaran bahasa oleh bumiputra memang tak serajin para sarjana atau guru berkebangsaan Belanda. Penerbitan buku pelajaran bahasa juga dikuasai penerbitan milik pemerintah kolonial atau partikelir asing. Dominasi itu menjadikan misi sebaran bahasa Indonesia bergerak lambat. Pada 1930-an, buku-buku pelajaran bahasa dengan sebutan Melajoe tetap berlaku di sekolah-sekolah. Perubahan mulai terjadi setelah kolonialisme Belanda berakhir (1942). Kebijakan politik dan pendidikan berubah drastis. Bahasa Indonesia dipropagandakan jadi bahasa dalam pendidikan-pengajaran dan terbitan surat kabar. Buku-buku pelajaran dan umum mulai terbit dengan sebutan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Melajoe. Sejak 1942 sampai 1950-an, penggunaan sebutan bahasa Indonesia agak memutus sejarah pengaruh buku-buku pelajaran bahasa Melajoe.
Pada 1949, buku berjudul Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rendah garapan Oesman dan C.F. Ijspeert dicetak ulang kelima. Buku jilid V itu bermaksud "menjempurnakan" pengajaran bahasa Indonesia di sekolah rendah dan "pembukakan pintu 'ilmu bahasa Indonesia hendaknja" di sekolah menengah. Puluhan buku pelajaran di sekolah, tata bahasa, atau pelbagai tema kebahasaan mulai terbit sebagai hasil garapan sarjana dan guru Indonesia. Dominasi pengarang Belanda mulai berkurang. Sebutan bahasa Indonesia semakin menentukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Sebutan itu menguatkan capaian tujuan pendidikan-pengajaran berhaluan kebangsaan dan kemodernan.
Pengelola Jagat Abjad Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo