Ulil Abshar-Abdalla
Associate researcher di Freedom Institute, Jakarta
Beberapa tindakan Wakil Presiden Hamzah Haz dalam satu tahun terakhir ini banyak menimbulkan tanda tanya. Semula, partainya Hamzah, PPP, sangat getol menentang pemilihan perempuan sebagai presiden. Tetapi, begitu ibu kita yang "tercinta" Megawati naik menjadi presiden, Hamzah dan PPP tidak menunjukkan keberatan apa pun. Ia bahkan bersedia menjadi wakil presiden.
Yang paling kontroversial adalah ketika Hamzah mengunjungi Panglima Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, yang ditangkap polisi Jakarta gara-gara pidatonya yang penuh provokasi di Ambon. Sebagai pejabat publik, mestinya Hamzah tak pantas mengunjungi seseorang yang masih menjalani proses hukum. Tindakan itu akan dapat mempengaruhi imparsialitas lembaga kepolisian dalam mengusut perkara Ja'far. Alasan Hamzah, bahwa kunjungannya itu adalah semata-mata untuk solidaritas keislaman, memang sulit diterima. Bukankah solidaritas keagamaan bisa diterjemahkan dalam bentuk yang justru tidak membuat prospek penegakan hukum makin surut?
Belakangan, Hamzah dianggap banyak orang seolah-olah mau "pasang badan" untuk melindungi kelompok-kelompok garis keras Islam. Selain mengunjungi Ja'far, dia juga pernah mendatangi pesantren Ngruki asuhan Abu Bakar Ba'asyir—tokoh yang selama ini menjadi sorotan dunia berkaitan dengan tuduhan atas keterlibatannya dalam jaringan terorisme di Asia Tenggara. Kunjungan Hamzah bisa dipersepsikan sebagai tindakan "memberi hati" kepada kelompok Islam garis keras. Ketika majalah Time menurunkan sebuah laporan kontroversial berdasarkan bocoran data CIA tentang pengakuan Umar al-Faruq yang menyebut Abu Bakar Ba'asyir sebagai salah satu operator jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara, Hamzah menantang untuk menangkap dirinya terlebih dahulu sebelum menangkap Abu Bakar Ba'asyir.
Di mata banyak pihak, tindakan Hamzah ini dipandang sebagai batu sandungan atas upaya pemerintah Megawati untuk menegakkan hukum yang tegas atas kelompok garis keras. Dalam kenyataannya, aparat kepolisian kerap enggan dan ogah-ogahan menindak tegas kelompok semacam Front Pembela Islam yang "main hakim" sendiri dengan merusak tempat-tempat hiburan yang dianggap ajang kemaksiatan. Sejauh ini Hamzah belum menunjukkan sikap yang jelas agar kelompok ini ditindak secara hukum. Jika kelompok ini diberi angin terus oleh tokoh sekaliber Hamzah, kemungkinan akan timbulnya keresahan dalam masyarakat akan makin tinggi. Beberapa hari setelah perusakan tempat-tempat hiburan di Jakarta pada 3 Oktober lalu oleh FPI, para pekerja tempat hiburan tersebut berdemonstrasi dan menuntut agar Pemerintah DKI menindak tegas FPI. Jika aparat keamanan terus ogah-ogahan seperti sekarang, saya khawatir akan muncul konfrontasi horizontal antar-anggota masyarakat, yang akan mengancam keamanan Jakarta secara keseluruhan.
Yang menarik adalah sikap Hamzah terhadap peristiwa pengeboman di Bali. Hamzah justru menyalahkan pihak militer dan dinas intelijen yang dituduhnya bersikap "NATO" belaka (no action, talk only). Bukankah sikap Hamzah yang selama ini memberi angin kepada kelompok-kelompok Islam garis keras justru telah menciptakan kondisi yang begitu rupa sehingga membuat pihak aparat bersikap enggan dalam melakukan "action". Saya berharap, peristiwa di Bali itu bisa "membangunkan" Hamzah dari sikapnya yang "politically uncorrect" selama ini.
Dalam pandangan saya, Hamzah bukanlah seseorang yang secara "ideologis" dan mendalam menghayati suatu keyakinan keislaman yang radikal dan fundamentalistis. Dia sendiri dibesarkan dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Sedikit banyak, dia dipengaruhi oleh pandangan politik yang khas NU, yaitu pandangan moderat, fleksibel, dan akomodatif. Jika sekarang dia mendekat kepada kelompok-kelompok Islam garis keras, dugaan saya adalah bahwa Hamzah melakukan itu atas motif yang sifatnya "politis" belaka. Hamzah hendak menjaring dukungan dari kelompok-kelompok yang ingin saya sebut sebagai new Islamic movement (gerakan Islam baru)—untuk membedakan dari gerakan Islam lama seperti NU dan Muhammadiyah. Hamzah juga menghendaki agar PPP bisa benar-benar memupuk citra sebagai partai yang membela kepentingan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah mendukung usaha memasukkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam amandemen Pasal 29 UUD 1945, dan merangkul kelompok-kelompok Islam di luar arus utama yang muncul bak kecambah akhir-akhir ini. Usaha Hamzah yang menurut saya agak "eksesif" untuk keliling salat Jumat dari satu masjid ke masjid yang lain di Jakarta, atau mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa, adalah bentuk "perjalanan politik" untuk meraih dukungan dari umat. Saya menyebutnya sebagai "diplomasi kanan" ala Hamzah.
Saya tidak tahu, apakah usaha Hamzah untuk mengerek PPP sebagai partai Islam yang "berwibawa" di mata umat cukup berhasil atau tidak. Tetapi, yang jelas, lingkungan politik internasional dan regional sekarang ini jelas tidak cukup ramah kepada kelompok-kelompok Islam radikal. Jika retorika Hamzah yang cenderung memberi angin kepada kelompok-kelompok tersebut tetap dipertahankan, saya khawatir legitimasi politik Hamzah di mata publik justru akan merosot. Saya menduga, sebagai politisi, Hamzah boleh jadi akan melakukan "political U-turn", atau banting setir dengan mencoba mengubah sedikit arah diplomasi kanannya itu. Jika perubahan ini tidak terjadi, hal ini akan merupakan ancaman baik bagi karir politiknya secara pribadi maupun bagi penegakan hukum secara menyeluruh terhadap kelompok garis keras. Jika langgam "diplomasi kanan" Hamzah ini bertahan, hal ini bisa bermasalah bagi pemerintahan Megawati secara keseluruhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini