Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bali Belum Kiamat

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia Redaktur Senior TEMPO PENDUDUK Bali, yang mayoritas beragama Hindu, mengenal ajaran utpati, sathiti, dan pralina—lahir, hidup, dan mati. Siklus kehidupan ini tidak hanya untuk makhluk bernyawa, tapi bisa berarti sangat luas tentang seluruh isi alam. Adapun ledakan bom yang mengguncang Legian, Kuta, 12 Oktober lalu, diyakini bukan berada dalam siklus pralina (mati), melainkan bagian dari dinamika kehidupan (sathiti) yang selalu ada pasang-surutnya. Kalau memakai bahasa populer—meski terasa klise—Bali belum kiamat. Keyakinan ini diperkuat setelah semua pemangku (pemimpin upacara) pura besar yang ada di Bali berkumpul di Pura Uluwatu dan menghasilkan kesimpulan bahwa ledakan bom di Kuta itu tergolong leboning amuk—arti harfiahnya kedatangan musuh yang mengamuk. Jadi, sama sekali bukan "kutukan Hyang Widhi". Kesimpulan spiritual ini makin mendorong umat Hindu, bukan hanya di Kuta dan Denpasar, tapi di seluruh Bali dan luar Bali, larut dalam doa. Puncak doa dipastikan terjadi pekan ini karena bulan sedang penuh (purnama). Keyakinan ini memberikan optimisme bahwa industri pariwisata di Bali juga belum kiamat. Dalam doa ada harapan, kehidupan kepariwisataan di Bali masih bisa ditata kembali. Tapi kapan kehidupan itu akan normal? Yang pertama harus dicari adalah siapakah "musuh yang mengamuk" itu. Semua orang Bali, bahkan warga dunia, sangat berharap musuh yang biadab itu segera diketahui. Industri pariwisata sangat rentan terhadap isu yang berkaitan dengan keamanan. Sedikit saja keamanan terganggu, wisatawan akan menjauh. Sesungguhnya, ketika bom meledak di Jakarta, lalu disusul dengan kerusuhan yang berkobar di Ambon dan Poso, turis juga waswas datang ke Bali. Namun, berkat kampanye yang gencar dari komponen kepariwisataan di Bali yang mengatakan Bali sangat aman dan jauh dari kerusuhan rasial, turis tetap datang dalam jumlah yang banyak. Kini tak ada lagi alasan untuk mengatakan Bali aman. Seratus delapan puluh lebih mayat terpanggang dan ratusan lagi dirawat jelas bukanlah angka yang bisa ditutup-tutupi. Tapi masyarakat Bali ingin berkata kepada dunia, ketidakamanan Bali itu bukan disebabkan oleh "urusan dalam Bali", melainkan oleh ulah orang-orang di luar Bali. Bali hanya ketempatan bom meledak, bukan sasaran untuk dihancurkan. Ini membutuhkan keseriusan pemerintah mengusut siapa teroris yang biadab itu. Kalau ini bisa ditemukan dan ternyata bom itu benar "bukan urusan orang Bali", akan lebih mudah merancang kampanye membangun kembali citra Bali yang damai. Makin cepat pemerintah menuntaskan tragedi 12 Oktober ini, makin cepat orang Bali menghidupkan kembali bisnis pariwisatanya. Pemerintah Mesir pernah mengalami hal serupa. Wilayah wisata terkenal di Luxor diserang dan sejumlah wisatawan asing meninggal dunia. Pemerintah Mesir bisa menuntaskan kasus itu dengan segera. Para penyerangnya diketahui dan dilumpuhkan. Wilayah Luxor tetap menjadi daerah tujuan wisata yang penting di negara piramida itu. Optimisme masyarakat Bali semakin kuat dalam menghadapi pasca-tragedi ini melihat perhatian masyarakat dunia yang begitu besar. Secara psikologis, beban ledakan bom ini tidak hanya ditanggung oleh orang Bali, tapi juga oleh orang Indonesia lainnya, bahkan warga dunia. Dukungan dari negara lain yang warganya ikut menjadi korban serta adanya resolusi PBB serta kutukan dari Liga Muslim Dunia menjadi modal kuat bahwa masyarakat Bali tidak sendirian menanggung tragedi ini. Dalam skala nasional, rasa simpati yang muncul dari tokoh-tokoh agama dan lebih-lebih di tataran bawah dengan berkumpulnya organisasi massa pemuda dan mahasiswa lintas agama dalam doa serta aksi sosial di berbagai tempat semakin membuat penduduk Bali "gembira dalam kedukaan"—sekaligus membuktikan bom ini tidak meluluh-lantakkan kerukunan yang ada di Bali. Tapi bom sedahsyat itu tetaplah sebuah malapetaka, ini memang tak bisa dimungkiri. Dampak sosial yang ditanggung masyarakat Bali tidak bisa dianggap enteng. Turis pulang tergesa-gesa, 28 ribu orang hengkang dalam tiga hari setelah bom meledak. Kamar-kamar hotel kosong, restoran sepi, toko-toko kesenian tak ada pembeli, pemandu wisata menganggur, obyek wisata lengang, dan perajin di pedesaan terbengong-bengong karena tak ada order. Harap diketahui, 60 persen lebih pendapatan Bali diterima dari sektor pariwisata. Untuk Kota Madya Denpasar dan Kabupaten Badung, ketergantungan terhadap bisnis pariwisata mencapai 80 persen. Di Kuta, Legian, dan Seminyak mungkin sampai 100 persen. Tak ada kegiatan yang tak bersentuhan dengan wisatawan di tiga desa ini. Kalau sektor pariwisata ini tak segera bisa bangkit, dapat dibayangkan dampak apa yang terjadi. Katakanlah pengusaha bisnis ini mulai kehabisan modal di semester pertama setelah "sepi turis", maka di semester kedua sudah pasti akan mengurangi karyawannya. Pengangguran akan meledak dan pekerja sektor pariwisata kembali pulang ke desa masing-masing. Di sini mereka akan berebut lahan di sektor informal yang tidak menyediakan banyak pilihan, sementara tanah pertanian sudah telantar ketika "bom turis" belum dihancurkan oleh "bom teroris". Kalau penanganannya tidak hati-hati, itu bisa menjadi pemicu terjadinya konflik sosial. Mungkin juga itu akan merembet menjadi konflik antara penduduk asli dan pendatang, karena dalam lima tahun terakhir ini—saat krisis mulai terjadi di negeri ini—pendatang berbondong-bondong ke Bali dalam jumlah yang tidak terkontrol, dan mereka sudah menguasai sektor informal, dari kota sampai pedesaan. Benturan antar-elemen masyarakat ini bisa merebak pada isu-isu primordial. Ini bisa menjadi ladang subur dari "gerakan teroris" berikutnya. Konflik bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan bisa saja meletus jika ada provokator, dan inilah bom yang lebih dahsyat. Keamanan dan ketenangan Bali selama ini justru dari terciptanya kerukunan di dalam kemajemukan itu. Bukan berarti masalah pendatang yang berduyun-duyun dan membuat sesak Bali ini harus dibiarkan. Kendurnya pengawasan penduduk, mudahnya orang mendapat kartu tanda penduduk Bali, adalah rahasia umum karena lemahnya birokrat (juga ditengarai adanya pungutan liar) meski di beberapa kabupaten sudah lahir peraturan daerah tentang pengetatan penduduk pendatang ini. Belum lagi masalah ketidakadilan yang justru menimpa masyarakat mayoritas, misalnya macetnya peradilan Hindu—dampaknya besar pada pencatatan perkawinan orang Hindu—mudahnya pembuatan tempat ibadah untuk umat non-Hindu, serta anggaran untuk agama Hindu yang lebih kecil dari agama lain di Kantor Wilayah Departemen Agama karena kebijakan yang seragam di pusat. Hal seperti ini akan menjadi lebih terbuka jika masyarakat Bali mulai terjepit secara sosial ekonomi. Tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi. Karena itu, bara sekecil apa pun harus segera disiram. Masyarakat Bali harus tetap mempertahankan kekuatannya yang terletak pada tatanan hidup yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk. "Kemarau panjang" industri pariwisata setelah bom Legian sesungguhnya bisa pula dijadikan masa jeda untuk melakukan introspeksi, apa yang salah selama ini. Yang menarik, mulai ada lontaran pemikiran dari pelaku budaya di Bali untuk menjadikan "kemarau panjang" ini sebagai saat-saat merenung buat mengisi kembali baterai yang bertahun-tahun digunakan. Misalnya menggali inspirasi baru di bidang kebudayaan, apakah itu dalam olah tari, seni tabuh, karawitan, atau berbagai pentas budaya lainnya. Selama ini, kesempatan untuk itu nyaris tidak ada, meskipun setiap tahun ada Pesta Kesenian Bali, karena turisme telah menumpulkan kreasi baru. Kapan merenungnya kalau setiap saat dipesan di berbagai hotel dan restoran? Dan bagi pengelola wisata pun ada kesempatan untuk berbenah. Bukan sekadar menata kembali obyek wisata yang kini makin kotor, tapi mengevaluasi daerah tujuan wisata yang selama ini bersinggungan dengan tempat suci Hindu. Ada satu fenomena yang sepertinya luput diamati oleh para pengelola industri pariwisata di Bali, yakni penduduk Bali semakin kuat ekonominya, semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin banyak punya kesempatan mempelajari agama secara tertulis karena semakin banyak buku agama yang terbit, bahkan semakin banyak yang melakukan perjalanan suci (tirthayatra) ke India. Ini membuat mereka kritis dan dalam beberapa hal bersinggungan dengan dunia wisata. Misalnya apakah pura masih bisa dijadikan obyek wisata dan apakah simbol-simbol Hindu bisa dijadikan cendera mata. Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai majelis umat Hindu sudah menyiapkan bhisama (fatwa) tentang hal ini, yang akan dikeluarkan pada Pesamuan Agung Parisada di Mataram, Nusa Tenggara Barat, akhir bulan ini. Apakah komponen pariwisata sudah diajak bicara? Yang paling penting tentulah bagaimana mengamankan Bali di masa mendatang. Kini marak dibicarakan kembali pemberdayaan lembaga adat, apalagi setelah dikeluarkan Peraturan Daerah tentang Desa Pekraman (kata lain dari adat). Ledakan bom di Legian ini membuat masyarakat Bali tidak lagi percaya—setidaknya kurang percaya—jika keamanan di Bali diserahkan penuh kepada aparat keamanan. Ada pemikiran untuk membangun kembali sistem pertahanan banjar adat (unsur lembaga adat yang terendah), yang di masa Orde Baru dikebiri, bahkan nama banjar itu oleh rezim Orde Baru harus diganti menjadi dusun. Sistem ini sejak dulu sudah cukup efektif dalam menciptakan ketenangan, kenyamanan, dan keamanan masyarakat Bali. Tentu masalahnya bagaimana meningkatkan hal ini di tengah-tengah kemajuan zaman dan lalu lintas penduduk yang demikian mengalirnya. Apakah pelaku pengaman adat ini (pecalang) harus dilatih soal kemiliteran dalam dunia yang disusupi teroris? Apakah ini tidak menyuburkan laskar-laskar sipil yang justru merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan? Ledakan bom di Legian tampaknya tidak hanya menghancurkan diskotek dan toko-toko seni, tapi mengurai banyak hal tentang problematika Bali. Falsafah Hindu tentang siklus kehidupan mengatakan, jika pralina (kematian) memang belum waktunya, setiap cobaan dalam kehidupan akan melahirkan kehidupan yang lebih baik. Kalau begitu, ledakan bom di Legian tidak harus diratapi berpanjang-panjang. Mari ambil hikmahnya untuk kebaikan bersama. Bukan cuma untuk warga Bali, tapi juga untuk warga Indonesia lainnya dan warga dunia. Bali belum kiamat, dan Bali tidak sendiri meratapi kepedihan ini. Lilin-lilin menyala di berbagai kota, doa datang dari berbagai pemuka agama. Nikmatnya kebersamaan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus