Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Padamkan Bara di Markas Tentara

Hubungan Jenderal Andika Perkasa dengan Jenderal Dudung memanas. Perlu didinginkan sebelum membahayakan institusi TNI dan supremasi sipil.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIK politikus Effendi Simbolon yang menyebut Tentara Nasional Indonesia menyerupai “gerombolan” mungkin terdengar keras. Namun, bukannya mempersoalkan pilihan kata Effendi, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman seharusnya mengakhiri ketidakharmonisan di antara keduanya, yang menjadi pangkal pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persaingan diam-diam kedua jenderal memang kencang terdengar. Apalagi menjelang akhir masa dinas Andika Perkasa, yang akan pensiun akhir tahun ini. Dudung Abdurachman, sesuai dengan Undang-Undang TNI, adalah perwira tinggi yang berpeluang menduduki kursi Panglima TNI—selain Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Effendi Simbolon membawanya ke ranah publik dalam rapat kerja DPR dengan Kementerian Pertahanan, Senin, 5 September lalu. Ia menyoroti ketidakhadiran Dudung. Relasi Andika dengan Dudung sudah lama seperti air dan minyak. Dalam setiap acara yang dihadiri Andika, Dudung lebih sering absen. Dudung disebut-sebut merasa menjadi kepala staf bukan atas rekomendasi Andika, yang lebih condong kepada teman seangkatannya di Akademi Militer. Undang-Undang TNI memberikan kewenangan kepada Panglima untuk mengusulkan calon kepala staf kepada presiden.

Bak ritual, setiap menjelang pemilihan panglima atau para kepala staf angkatan, TNI kerap terpolitisasi. Musababnya, siapa yang menjadi panglima atau kepala staf angkatan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas dan pengalaman kemiliteran. Jejaring kandidat dengan aktor kunci di lembaga eksekutif dan legislatif serta partai politik kerap lebih menentukan nasib para jenderal.

Menimbang besarnya risiko konflik di TNI, sudah sewajarnya Dewan Perwakilan Rakyat menyoroti keretakan hubungan Andika dengan Dudung. Itulah yang dilakukan Effendi Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan. Dalam konteks ini, akan lebih elegan jika Andika dan Dudung segera memberikan klarifikasi: apakah betul ada perselisihan di antara mereka. Dudung malah bersikap “overdosis”. Dalam sebuah rekaman video yang viral, Dudung memerintahkan semua perwira Angkatan Darat tidak tinggal diam. Hampir bersamaan dengan beredarnya video itu, kecaman dan ancaman dari prajurit hingga perwira TNI terhadap Effendi berseliweran di media sosial. Sayangnya, sebagai Panglima TNI, Andika pun terkesan membiarkan manuver Dudung.

Cara Dudung memobilisasi dukungan jelas kebablasan. Hal itu juga membunyikan alarm bagi supremasi sipil. Sebagai syarat penting tegaknya demokrasi, supremasi sipil menuntut kepatuhan militer pada kebijakan serta pengawasan oleh pemimpin sipil yang terpilih lewat pemilihan umum yang demokratis. Suka tidak suka, DPR adalah lembaga yang anggotanya terpilih lewat pemilu. Dalam konteks ini, kritik Effendi seharusnya diterima sebagai bagian dari fungsi pengawasan lembaga legislatif terhadap TNI.

Alih-alih membela Effendi Simbolon, pengurus teras PDI Perjuangan malah meminta kader seniornya itu meminta maaf kepada Andika dan Dudung. Elite partai itu juga memerintahkan pengurusnya mendekati pimpinan militer di wilayah masing-masing. Boleh jadi pengurus teras PDI Perjuangan khawatir polemik Effendi bakal mempengaruhi perolehan suara mereka pada pemilihan mendatang. Apalagi partai ini juga memiliki sejarah buruk ketika kantor pusat mereka diserbu tentara pada akhir era Orde Baru.

Jika Panglima TNI tak bisa menyelesaikan konflik dengan kepala stafnya, Presiden Joko Widodo sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata harus turun tangan. Bila mereka tak mau didamaikan, Jokowi perlu memecat salah satu atau keduanya sekaligus. Selanjutnya, demi tegaknya supremasi sipil, presiden perlu kembali memastikan semua pemimpin TNI lebih terbuka terhadap pengawasan serta kritik dari lembaga sipil, betapapun kerasnya kritik tersebut.

Yang tak kalah penting, presiden dan para jenderal seharusnya menghidupkan kembali reformasi TNI yang jalan di tempat—bahkan mengalami kemunduran. TNI harus dibebaskan dari pelbagai godaan dan gangguan politik serta dikembalikan ke jalur tentara yang profesional. Tugas utama tentara profesional adalah mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman serangan bersenjata.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus