Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mendadak Pancasila

Presiden Joko Widodo membentuk lembaga pemantapan ideologi Pancasila. Langkah reaktif yang menambah beban.

26 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pemantapan Ideologi Pancasila sesungguhnyalah patut dipertanyakan. Pembentukan lembaga ini diputuskan dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan pekan lalu.

Dengan merujuk pada situasi global, Presiden Jokowi konon gelisah atas merosotnya toleransi, terbelahnya solidaritas sosial, serta terganggunya ketertiban oleh terorisme dan radikalisme. Tak bisa ditutup-tutupi, pembentukan unit kerja setingkat kementerian negara ini hanyalah sikap reaktif terhadap berkembangnya intoleransi dan radikalisme di tengah masyarakat, terutama dalam beberapa bulan terakhir.

Langkah reaktif seperti ini bukan hanya cerminan refleks spontan yang kurang pertimbangan, melainkan juga berbahaya. Misalkan sesudah lembaga itu terbentuk, intoleransi dan radikalisme tetap tak terpadamkan, bisakah dikatakan unit kerja ini telah gagal, atau—lebih berbahaya—Pancasila tidak berhasil menjalankan fungsinya?

Bahaya lain, pemerintah terkesan hendak mengatakan, setelah lebih dari tujuh dasawarsa menjalani kemerdekaan, rakyat Indonesia masih belum paham Pancasila. Asumsi ini tentu saja melecehkan kecerdasan rakyat. Dalam kenyataannya, justru para pejabat dan aparat penyelenggara negaralah yang berkali-kali terperosok ke dalam perundungan Pancasila—dalam bentuk korupsi dan kejahatan terhadap masyarakat.

Presiden Jokowi seperti memutar balik jarum sejarah, membawa kita kembali ke tahun 1979, ketika rezim Soeharto membentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Badan yang didukung dana besar dan struktur organisasi berjurai-jurai ini menggelar berbagai indoktrinasi dalam bentuk santiaji dan penataran—yang justru berakhir dengan bangkrutnya rezim itu, pada 1998.

Jika persoalannya semata-mata menanggulangi tindakan intoleransi yang memang meningkat akhir-akhir ini, langkah paling ampuh adalah penegakan hukum. Tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan masyarakat dan agama itu bisa meningkat frekuensi dan kadarnya justru karena tidak dihadang penindakan hukum. Bahkan, di beberapa wilayah kepolisian, para aparat penegak hukum ikut "mensosialisasi" fatwa Majelis Utama Indonesia yang tidak berkekuatan hukum positif itu.

Mereka sudah ditegur atasannya—langkah yang sungguh terpuji. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian bahkan telah menginstruksikan anggotanya menangkap anggota organisasi kemasyarakatan yang melakukan "penyisiran" di tempat publik sehubungan dengan larangan penggunaan atribut Natal. Jenderal Tito menegaskan, fatwa Majelis Ulama Indonesia bukan hukum positif dan tidak bisa dijadikan rujukan penegakan hukum. Presiden Jokowi, semestinya, tinggal menunggu "janji" Jenderal Tito, bukannya ujug-ujug membentuk lembaga yang menambah beban anggaran dan membuat kantor kepresidenan laksana bahtera bongsor yang menisbikan efisiensi.

Dengan menempatkan unit kerja ini langsung di bawah Presiden, makin sulit membayangkan betapa akan hibuknya Jokowi mengelola negara di tengah keadaan ekonomi yang tidak menggembirakan dan bencana alam bertubi-tubi. Padahal solusi atas intoleransi dan radikalisme sangat jelas: penegakan hukum yang tuntas dan tandas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus