Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA korupsi bukan tantangan utama semua lembaga pemerintahan di Indonesia, rencana Dewan Perwakilan Rakyat mengatur kewenangan penyadapan lembaga penegak hukum tak perlu ditanggapi berlebihan. Menguping pembicaraan warga memang melanggar privasi dan seharusnya dilakukan dengan mekanisme yang menjamin akuntabilitas prosesnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, sebagai senjata utama Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membongkar kasus-kasus korupsi yang kompleks, mengatur penyadapan bisa berdampak pada efektivitas penyelidikan mereka. Bayangkan apa jadinya jika KPK harus meminta izin pengadilan untuk menyadap percakapan para hakim yang diduga memperdagangkan perkara, misalnya. Bisa-bisa pelaku penyuapan kabur sebelum bisa digerebek petugas antikorupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk itu, diperlukan rumusan regulasi yang memenuhi kaidah perlindungan hak asasi warga, menjamin tak ada penyelewengan dalam praktik penyadapan, sekaligus memastikan upaya pemberantasan korupsi terus berjalan. Di banyak negara, kewenangan penyadapan disatukan dalam satu lembaga dan hakim ditempatkan sebagai pemutus akhir sebuah penyadapan layak dilakukan atau tidak.
Masalahnya, lembaga peradilan kita menyimpan problemnya sendiri. Sejumlah kasus korupsi yang dibongkar KPK justru melibatkan para hakim. Dua bulan lalu, seorang hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan dicokok setelah menerima suap Rp 500 juta. Indonesia Corruption Watch mencatat ada sedikitnya 20 hakim yang terbukti korup sejak 2012. Bahkan pejabat setingkat Sekretaris Mahkamah Agung kini tengah disidik dalam perkara suap.
Menyatukan kewenangan penyidikan dalam satu lembaga penegak hukum juga sama bermasalahnya. Pengaturan semacam itu akan membuat upaya KPK membongkar kasus korupsi di lembaga penegak hukum lain menjadi nyaris mustahil. Padahal salah satu alasan pendirian komisi ini adalah tidak efektifnya kerja polisi dan jaksa dalam memberantas korupsi. Kasus korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi yang melibatkan petinggi Trunojoyo, misalnya, tak mungkin terungkap jika KPK harus meminta persetujuan dulu sebelum menyadap para jenderal polisi.
Tak mengherankan jika kemudian muncul kecurigaan soal apa motif parlemen berkeras meminta ada pengaturan penyadapan. Jangan-jangan ada upaya mengganjal pemberantasan korupsi di negeri ini. Apalagi, sepuluh tahun terakhir, DPR selalu berusaha mengotak-atik Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mengatur soal penyadapan. Padahal kewenangan serupa dimiliki kepolisian, kejaksaan, badan intelijen, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Karena itu, prinsip pengecualian untuk kewenangan penyadapan KPK dalam rancangan regulasi intersepsi ini menjadi bisa diterima. Meski tak ideal, pengaturan semacam itu jadi kompromi untuk memastikan penyadapan menjadi akuntabel tanpa mengganggu penyidikan korupsi. Untuk memastikan kinerjanya tak menyimpang, KPK bisa menghidupkan kembali mekanisme audit eksternal untuk semua praktik penyadapannya. Audit tersebut juga penting untuk menepis kekhawatiran publik soal potensi penyalahgunaan kewenangan di lembaga antirasuah itu sendiri.
DPR merencanakan aturan penyadapan rampung pada akhir masa sidang tahun ini. Para wakil rakyat di Senayan dan Presiden Joko Widodo wajib memastikan regulasi baru ini tak merusak gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.