Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahaya Retorika Prabowo

SEBELUM terlambat, tim kampanye calon presiden Prabowo Subianto sebaiknya segera menimbang ulang strategi dan gaya bahasa kandidatnya.

25 Desember 2018 | 07.00 WIB

Presidential hopeful Prabowo Subianto delivers a speech to Prabowo-Sandi volunteers at Istora Senayan, Jakarta, November 22, 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Presidential hopeful Prabowo Subianto delivers a speech to Prabowo-Sandi volunteers at Istora Senayan, Jakarta, November 22, 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEBELUM terlambat, tim kampanye calon presiden Prabowo Subianto sebaiknya segera menimbang ulang strategi dan gaya bahasa kandidatnya. Mendekati hari-H pemilihan umum empat bulan mendatang, gaya kampanye tim nomor 02 ini kian konfrontatif. Awal pekan lalu, Prabowo membakar semangat pendukungnya dalam Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, dengan sesumbar: Indonesia bisa punah jika dia gagal terpilih menjadi presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Retorika semacam itu sungguh berbahaya. Menempatkan diri sebagai mesiah, dan kubu lawan sebagai sumber masalah, hanya bakal memperuncing potensi konflik antar-pendukung di lapangan. Kompetisi politik, yang seharusnya berlangsung beradab, dengan cepat bisa berubah menjadi beringas dan brutal. Kedua kandidat, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, seharusnya berfokus menjelaskan kelebihan mereka jika mendapat mandat rakyat menjadi presiden. Bukan menakuti-nakuti khalayak soal apa yang terjadi jika mereka kalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selain itu, gaya kampanye Prabowo bermasalah karena memunculkan konstruksi realitas lain yang berpotensi membuat publik gamang. Kita masih ingat: pada Oktober 2017, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat ini mengatakan ada kajian yang menyebutkan Indonesia akan bubar pada 2030. Belakangan terungkap, kajian yang dimaksud ada dalam sebuah novel belaka. Lontaran pernyataan semacam itu bisa jadi merupakan disinformasi yang didesain untuk membentuk "realitas alternatif" tanpa dukungan fakta yang memadai.

Ketika publik tak bisa bersepakat soal apa yang merupakan "fakta" dan mana yang "hoaks", manipulasi kesadaran pun bisa dengan mudah dilakukan. Ketika rujukan untuk hal yang faktual dikaburkan, khalayak pun dipaksa percaya kepada realitas yang paling sesuai dengan sudut pandangnya. Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai era post-truth-era ketika kebenaran ilmiah terlampaui oleh keyakinan belaka.

Strategi kampanye semacam itu bukan hal baru. Dari Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sampai Presiden Brasil terpilih Jair Bolsonaro, semua menggunakan taktik serupa untuk memenangi pemilihan. Hasilnya adalah publik yang terbelah dan stabilitas politik yang terguncang. Pola kampanye semacam itu berdampak panjang meski pemilu sudah lama berakhir. Perpecahan yang terjadi di masyarakat sulit kembali disatukan.

Satu-satunya penangkal untuk kampanye disinformasi semacam itu adalah adanya akses pada rujukan fakta yang kuat dan kredibel. Untuk itu, keberadaan "wasit" yang punya otoritas dan legitimasi dalam menentukan "kebenaran" jadi teramat penting. Selain akademikus, pers punya peran ini. Karena itu, pernyataan Prabowo pada awal Desember lalu, yang menuding pers sebagai "antek yang hendak menghancurkan Indonesia" karena dinilai kerap menyebarkan kebohongan, amat disesalkan.

Serangan yang berulang-ulang dan sistematis atas media massa arus utama harus diwaspadai sebagai upaya menggerus modal sosial pers sebagai rujukan publik dalam mencari fakta. Tanpa pers yang tepercaya, manipulasi dan disinformasi lebih mudah terjadi. Tentu, pada saat yang sama, redaksi media dituntut terus memperbaiki akurasi dan kejernihan pemberitaannya.

Kita menginginkan kampanye yang bersih dari manipulasi dan disinformasi. Demokrasi baru bisa bekerja efektif jika rakyat mendapat informasi yang memadai dan dapat dipercaya. Karena itu, keberadaan fakta yang akurat teramat penting. Tanpa itu, kampanye politik hanya bakal menyuburkan kebencian dan permusuhan.

Perubahan gaya kampanye Prabowo Subianto berpotensi mengubah suasana kampanye menjadi lebih bernas dan berkualitas. Apalagi, sejauh ini, sejumlah lembaga survei memastikan basis pemilih Prabowo tak pernah bergeser dari angka 26-30 persen. Dalam beberapa survei yang dilakukan sejak awal tahun ini, elektabilitas politikus Gerindra ini tak bergeser jauh dari angka itu. Dengan jumlah pemilih mengambang-yang belum memastikan pilihannya-sebesar 12-16 persen, peluang Prabowo menyalip petahana sebenarnya masih terbuka lebar.

Tentu gayung harus bersambut. Ajakan untuk menolak cara-cara kampanye yang menebarkan ketakutan dan memanipulasi fakta seyogianya berasal dari kedua kubu calon presiden. Penyelenggara pemilu juga bisa berperan aktif mengawasi pola kampanye kedua kandidat. Badan Pengawas Pemilu bisa memberikan peringatan keras jika disinformasi terus disebarkan. Hanya dengan cara itu, pemilihan presiden bisa membawa harapan untuk Indonesia yang lebih baik.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus