Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA zaman yang disebut-sebut sebagai era reformasi ini, ironisnya, korupsi malah subur kembali. Skandal megakorupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) merupakan salah satu buktinya. Tidak kepalang tanggung, uang negara yang dijarah koruptor dalam kasus ini sebesar Rp 2,3 triliun--hanya "kalah" dibanding kasus Century, yang diduga menghabiskan Rp 7 triliun. Yang sangat memalukan, pelakunya adalah pejabat kementerian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, juga partai politik--tiga lembaga yang seharusnya berdiri di barisan depan gerakan pemberantasan korupsi.
Tanggung jawab terbesar perlu dibebankan kepada anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014--tidak peduli mereka sudah atau belum mengembalikan uang suapnya. Merekalah yang seharusnya memastikan program penting ini bersih dan bermanfaat untuk publik. Tapi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan justru para wakil rakyat inilah yang paling lahap menilap hampir separuh nilai proyek e-KTP.
"Rekor" lain dalam kasus ini, jumlah anggota DPR yang diduga menerima suap ternyata paling banyak: 60 orang anggota Komisi Pemerintahan plus sejumlah anggota Badan Anggaran di parlemen. Para pelaku ini sesungguhnya sudah kehilangan hak moral untuk mewakili rakyat di DPR--walaupun biasanya mereka bertahan di Senayan dengan segala dalih.
Ada yang spesial dari kasus ini. Tiga partai politik diduga menerima bagian dari bancakan proyek itu: Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Berdasarkan dokumen dakwaan jaksa yang dibacakan di sidang perdana perkara ini pekan lalu, ada Rp 150 miliar yang mengalir ke Demokrat dan Golkar, dan Rp 80 miliar ke PDI Perjuangan. Duit suap ini diduga masuk ke kas partai, bukan sekadar ke kocek pribadi anggota parlemen. Kalau partai terbukti bersalah, pengadilan mesti menghukum partai yang serong itu. Ketiga partai politik itu pun mesti menjatuhkan sanksi keras kepada pengurusnya yang terlibat. Rakyat juga bisa mempertimbangkan kembali pilihannya atas partai yang terlibat itu pada pemilu mendatang.
Tentu kita tak boleh lupa kepada Setya Novanto. Penyidikan KPK mengungkap peran aktif Ketua DPR itu dan pengusaha yang disebut sebagai orang dekatnya, yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong, serta mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan bendaharanya, Muhammad Nazaruddin. Empat sekawan itulah yang diduga merancang semua permainan ini. Sejumlah kesaksian dan bukti menunjukkan keempat orang itulah yang merancang skema penjarahan proyek e-KTP, setahun sebelum anggaran proyek ini diajukan ke Senayan. KPK sepantasnya segera menetapkan mereka sebagai tersangka.
Nama Setya Novanto memang pantas masuk berkas dakwaan e-KTP dengan sepak terjangnya itu. Tapi, perlu diingat, selama ini tak ada satu pun penegak hukum yang mampu menemukan bukti langsung keterlibatan politikus kawakan Golkar itu dalam berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Sebut saja kasus korupsi impor beras Vietnam pada 2003 atau kasus korupsi anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau pada 2012. Namun membiarkan politikus dengan reputasi "belang" menduduki kursi paling terhormat di DPR sungguh bukan pendidikan politik yang baik.
Publik perlu mengawal pengadilan kasus e-KTP ini agar tak sampai gembos di tengah jalan. Kesaksian yang muncul dalam persidangan akan menjadi landasan penting bagi penyidik KPK untuk menjerat pelaku-pelaku lain. Mengingat beratnya tugas KPK dan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menyelesaikan perkara ini, Presiden Joko Widodo harus mengambil peran. Presiden bisa mengirim pesan kepada semua pihak agar tidak coba-coba mengganggu proses persidangan. Meski partainya sendiri terindikasi terlibat, sudah seharusnya Presiden mengambil jarak dan menegaskan dukungannya kepada KPK. Bila perlu, jika kelak partainya terbukti bersalah, Presiden mundur saja dari partai pendukungnya.
Sidang pengadilan atas kasus korupsi e-KTP bisa menjadi tonggak penting dalam upaya membersihkan Indonesia dari korupsi. Selama ini, khalayak sudah bosan membaca berita demi berita tentang perilaku permisif anggota DPR mengenai suap dan korupsi. Penangkapan koruptor gencar dilakukan, tapi kondisi seolah-olah tak berubah. Pola korupsi berombongan semacam skandal e-KTP ini pernah diungkap KPK dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 2004, juga korupsi pembangunan kompleks pusat pelatihan olahraga di Hambalang pada 2010. Sampai sekarang, sejumlah politikus yang diduga menerima suap tak tersentuh hukum.
Mengulangi preseden buruk itu akan menambah suram masa depan pemberantasan korupsi. Maka vonis berat untuk semua pelaku korupsi e-KTP mungkin bisa menerbitkan kembali harapan publik untuk melihat Indonesia yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo