Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Memvonis Keyakinan Eks Gafatar

Hakim memutus bersalah tiga bekas pentolan Gafatar yang didakwa menodai agama. Memupuk intoleransi.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menghukum tiga bekas tokoh Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sampai lima tahun penjara jelas mencederai prinsip kebebasan beragama. Kasus ini juga mempertontonkan proses penegakan hukum yang mulur-mengkeret ibarat karet.

Polisi semula menjerat Ahmad Mushaddeq dan kawan-kawan dengan delik penodaan agama. Mereka dituduh memusuhi, menyalahgunakan, dan menodai agama karena mengajarkan Millah Abraham--paham yang berbeda dengan ajaran mayoritas umat Islam. Di tengah penyidikan, polisi menyelipkan pula pasal makar. Mereka pun akhirnya didakwa melakukan permufakatan jahat untuk menggulingkan pemerintah karena mendeklarasikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara sebagai pengganti Gafatar.

Dalam persidangan yang mulai digelar pada pertengahan tahun lalu, dari 24 orang yang bersaksi, sebagian besar malah meringankan Mushaddeq dkk--termasuk saksi yang dihadirkan jaksa. Namun kesaksian mereka tak direken hakim. Pada akhir sidang, hakim memang meloloskan Mushaddeq dkk dari jerat makar. Tapi hakim menjebloskan mereka ke penjara dengan pasal penodaan agama.

Mushaddeq dan rekan-rekannya didakwa dengan aturan "karet", yakni Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada 2007, Mushaddeq pernah dijerat pasal yang sama dan dihukum empat tahun penjara. Tapi, ketika dia keluar dari bui, pengikutnya malah bertambah banyak. Fakta ini menunjukkan bahwa mengadili keyakinan hanyalah pekerjaan sia-sia. Sejarah pun mencatat banyak bukti bahwa penjara tak bisa mengubah pendapat atau keyakinan seseorang.

Alih-alih meredakan "keresahan" masyarakat, vonis bersalah dalam kasus penodaan agama justru mempertebal atmosfer intoleransi. Berdasarkan catatan Amnesty International, selama 2005-2012, di Indonesia ada 106 orang yang masuk penjara karena dilaporkan menodai agama. Sedangkan selama 1965-1998, ketika kebebasan warga negara dibelenggu rezim Orde Baru, hanya sepuluh orang yang didakwa menista agama. Sungguh ironis.

Penegak hukum semestinya tak menutup mata bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi. Pasal 28-E Undang-Undang Dasar 1945 terang menyebutkan setiap warga negara bebas memeluk agama dan meyakini kepercayaan tertentu. Jaminan serupa termaktub dalam Undang-Undang tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Masalahnya, paradoks dengan jaminan konstitusi, aturan tentang penodaan agama masih bertaburan di banyak undang-undang. Belakangan ini, misalnya, penegak hukum gandrung menjerat "penista agama" dengan pasal penghasutan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancaman hukumannya lebih berat. Ketentuan pidana penodaan agama pun berserakan dalam rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kini dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.

Di negara yang lebih menghormati hak asasi, aturan tentang penodaan agama telah lama dibuang. Kalaupun ada yang masih mempertahankan pasal "penghinaan", itu biasanya untuk melindungi kehormatan individu, bukan untuk menjaga hal abstrak seperti agama.

Agar tak terus memakan korban, pasal-pasal tentang penodaan agama sudah saatnya ditanggalkan. Mereka yang telanjur dipenjara harus dibebaskan dan direhabilitasi. Hak mereka yang sempat dirampas harus dikembalikan. Tugas negara bukan menghukum orang dengan dalih menjaga "kemurnian" agama resmi. Negara hanya perlu memastikan semua warga negara bisa menjalankan agama dan keyakinan tanpa ancaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus