Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bajingan dan pahlawan kadang-kadang manunggal dalam evolusi.
Di Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang kenal cerita Ned Kelly. Dalam Pararaton yang ditulis pada 1481 ditunjukkan Ken Arok sebagai seseorang yang bermula dari kehidupan yang terkutuk: "perilakunya tak baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing hyan Suksma. Ia juga dengan ambisi berkuasa yang ganas membunuh siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta. Dan ia memang naik takhta dan jadi pendiri Kerajaan Singasari di abad ke-14.
Ia sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi terjadi: ia jadi pahlawan yang tak pernah hilang. Di abad ke-20 baik Muhammad Yamin maupun Pramoedya Ananta Toer membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang heroik.
Di Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah sebagai perampok, pembunuh, musuh kekal polisi. Tapi, sementara ia bermula dari manusia yang dikecam, ia berakhir jadi tokoh yang memikat imajinasi orang Australia. Pelukis termasyhur Sidney Nolan menampilkannya dalam kanvas-kanvas yang memukau: Ned Kelly dalam topeng pelindungnya yang persegi dan penuh teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa film dibuat, termasuk yang dibintangi Mick Jagger dan Heath Ledger.
Daftar bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-20: Pancho Villa. Di India di abad kita: Phoolan Devi. Di antara penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia, jagoan yang mati pada 1896.
Di Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah terbunuh pada 1881, ia juga lahir kembali sebagai kisah penjahat yang memikat, meskipun kebajingannya sebenarnya tak pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis novel puitik yang ia sebut The Collected Works of Billy the Kid: Left-Handed Poems pada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat, antara lain oleh Sam Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah musiknya. Bahkan sebelum itu pada 1938, si bandit masuk di pusat sebuah karya ballet Aaron Copland.
Di Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun miskin di Sisilia ini mulai beroperasi sebagai penyelundup kecil bahan makanan di pasar gelap ketika Italia Selatan terancam kelaparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera ia sudah jadi legenda bahkan sebelum mati dibunuh pada 1950.
Syahdan, di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah tampan ini merampok rumah seorang bangsawan putri dari Pratameno. Bersama anak buahnya, Giuliano diam-diam masuk ke kediaman sang duchessa. Dengan hormat dan sopan, si kepala bandit mencium tangan nyonya rumah—tapi ia meminta agar emas berlian diserahkan. Ketika permintaannya ditolak, Giuliano mengancam akan menculik anak-anak keluarga itu. Sang duchessa menyerah. Giuliano pun pergi dengan harta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin berlian dari jari nyonya rumah dan meminjam satu buku karya John Steinbeck dari perpustakaan—buku yang seminggu kemudian ia kembalikan.
Dengan cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi membuat sebuah film dokumenter gaya neo-realis tentang Giuliano pada 1962. Dan tak mengherankan bila sejarawan Marxis terkenal, Eric Hobsbawm, dalam Bandits, menyebut Giuliano salah satu contoh bajingan dalam "tradisi" Robin Hood. Giuliano pernah menembak mati kepala kantor pos yang mencuri parsel yang dikirim untuk orang dusun dari kerabatnya di Amerika, dan ia bunuh pemilik toko yang jadi lintah darat.
Sudah tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah peristiwa sejarah. Umumnya ia lebih sebuah proses imajinasi sosial yang terbentur. Ia lahir ketika orang banyak merasakan ada Keadilan (dengan "K") tapi tak bisa diutarakan dalam suasana Ketidakadilan, ada Juru Selamat tapi tak terlihat.
Dalam pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh nyata seperti Ken Arok dan Pancho Villa, sang pelanggar hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah kehilangan auranya. Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit jadi "pahlawan" dengan menegaskan kata "lawan": ia bongkar ilusi dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan para legislator dan aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian hak—yakni hak menentukan apa yang adil.
Di Indonesia, hukum disebut "undang-undang". Seperti juga "undangan", ia memanggil dan memberi tahu orang ramai. Tampak, ada jalinan erat antara "undang-undang" dan bahasa: dalam hukum—yang dirumuskan dengan kata-kata—ada kemestian berkomunikasi. Dan seperti bahasa, "undang-undang" adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disepakati secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan aksen yang berbeda-beda di suatu saat, di suatu tempat.
Dengan kata lain, interpretasi, itulah proses yang menentukan. Penafsiran adalah cara mengakomodasi kecenderungan yang partikular dalam konstruksi hukum yang berniat universal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, juga ketika tafsir dinyatakan terlarang.
Penafsiran itulah cara membuat Keadilan (dengan "K") mewujud dalam hidup sehari-hari. Tapi tak pernah selesai. Ia selalu sia-sia. Dalam sejarah, Keadilan acap menggerakkan lahirnya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan Keadilan.
Maka hukum hanya akan jadi berhala, ketika para penguasa tak mau mengakui bahwa seadil-adilnya undang-undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di mana. Derrida pernah mengatakan, "Keadilan" selalu hanya akan datang, "a-venir", tapi saya kira tidak. Keadilan telah hadir hari ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.
Dalam sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada kemarahan. Dan kadang-kadang ada bandit, ada pahlawan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo