SANDIWARA rakyat Filipina, moro-moro, melukiskan orang Moro sebagai pelaku-pelaku yang jahat dan selalu kalah. Tetapi dalam kenyataan, orang Moro ialah bangsa yang penuh kebanggaan, dengan sejarah gemilang. Ketika suku-suku lain di Filipina masih hidup dalam kelompok kecil, orang-orang Moro sudah sanggup membangun kerajaan. Langkah pertama dimulai dengan datangnya orang-orang Islam di Mindanao pada awal abad ke-14. Di Pulau Sulu, penyebar Islam pertama bernama Masha'ika, yang kedua bernama Makhdum. Orang ketiga bernama Rajah Baginda, seorang bangsawan Minangkabau, datang bersama pengikutnya pada tahun 1390. Ia diangkat sebagai raja setempat. Kemudian pada tahun 1450 seorang Arab dari Palembang, 'Abu Bakr, datang dan diangkat sebagai kadi di istana Rajah Baginda. Abu Bakar menggantikan Rajah Baginda sebagai raja, dan mulailah Kesultanan Sulu. Pada waktu yang bersamaan di Mindanao berdirilah kerajaan Islam. Melalui jalur dagang, Islam menyebar ke utara. Pada tahun 1521 sebuah permukiman Islam berdiri di Manila, dan sebuah lain di Tondo. Orang-orang Islam di Manila itulah yang melawan Spanyol, ketika mereka datang merebut kota. Sejak orang Spanyol melihat permukiman dagang Muslim di Manila itulah mereka berpikir tentang hubungan antara ekonomi dan agama. Pada tahun 1565 mereka mengajukan rencana untuk menaklukkan daerah Moro -- sebutan Spanyol untuk orang Islam di Filipina Selatan. Maka, mulailah perang sabilullah: orang Moro mempertahankan Dar al Islam melawan conqistadores Spanyol. Perang 300 tahun itu baru dimenangkan Spanyol ketika Revolusi Industri melengkapinya dengan kapal-kapal api dan persenjataan baru. Kerajaan Sulu jatuh pada tahun 1876, tetapi perlawanan dalam kelompok kecil atau perorangan berkelanjutan. Penguasa Spanyol telah meletakkan dendam antaragama ketika mereka membawa-bawa 1.500 tentara Kristen pribumi pada perang yang pertama pada tahun 1578. Sejak itulah Spanyol menutup urat nadi perdagangan orang-orang Sulu dan Mindanao. Kedatangan Amerika tidak membawa perbaikan. Serangan sabilullah dalam kelompok besar, jihad dalam kelompok kecil, atau pertahanan dalam ktah (benteng) dilakukan terhadap pasukan-pasukan Amerika yang menyerbu. Dua jenderal Amerika, yang pernah membasmi orang-orang Indian, Leonard Wood dan John Persching, ditugasi menjinakkan bangsa Moro. Perlawanan mereda ketika pendekatan sipil menggantikan pendekatan militer, setelah ratusan pertempuran dan pembantaian dilakukan. Amerika memanfaatkan kekayaan alam Filipina Selatan. Pada tahun 1910, tercatat 97 perkebunan dan perusahaan Amerika beroperasi di Mindanao. Amerika juga memerlukan orang-orang terdidik, dan mulailah program pendidikan bagi orang Moro. Pada tahun 1935, terjadi babak baru dalam hubungan utara-selatan. Pemerintah Persemakmuran mengumumkan program "tanah untuk yang tak bertuan" dengan menganjurkan orang-orang dari utara membuka daerah-daerah pertanian di selatan. Tanah-tanah yang tak bersertifikat dinyatakan sebagai tanah negara atau tanah cadangan tentara. Gerakan ke selatan ini dijamin oleh undang-undang dan kekuatan militer. Tanah-tanah adat jatuh ke tangan perkebunan-perkebunan besar dan petani-petani baru dari utara. Ekonomi prakapitalis orang Moro tidak dapat menandingi ekonomi kapitalis yang didukung organisasi yang kuat. Tanah-tanah komunal menjadi perkebunan besar. Tambang-tambang baru dibuka oleh pemilik modal. Atas nama "pembangunan", juga perairan Mindanao diserbu kapal-kapal modern pencari ikan. Orang Moro tersisih. Keadaan tak berubah ketika pada 1946 Amerika menyerahkan sepenuhnya pemerintahan kepada orang Filipina. Republik Filipina hanya melanjutkan garis lama. Usaha pemukiman orang-orang utara dilanjutkan untuk mendukung masuknya modal besar orang asing dan kapitalis besar pribumi. Pemuka-pemuka Moro, para datu, dimasukkan sebagai rekanan pendukung sistem ekonomi dan politik. Kebanyakan petani makin tersisih dan miskin, orang-orang Moro -- seperti juga suku-suku minoritas lainnya -- menjadi orang pinggiran dalam sistem ekonomi dan politik Filipina. Dengan mundurnya basis ekonomi dan politik, terjadilah erosi identitas dan budaya orang Moro. Masuknya orang-orang Kristen dari utara sedemikian deras sehingga orang-orang Moro cepat menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Masuknya modal besar sedemikian kuat sehingga kesempatan orang Moro dalam pertanian, perikanan, dan perdagangan semakin sempit. Tema yang telah dikenal oleh orang Spanyol sebagai "hubungan agama dan ekonomi" dikenal pula oleh orang Moro dengan cara mereka sendiri. Jauh sebelum diumumkannya hukum militer di Filipina pada 21 September 1972, di Filipina selatan terjadilah kekacauan. Sedemikian banyak terjadi perkelahian bersenjata antara orang-orang Muslim dan Kristen, hingga keadaannya mirip perang saudara. Kedua belah pihak mempunyai pasukan sendiri, orang Islam mempunyai Barracuda dan orang Kristen mempunyai Illaga. Seruan untuk jihad mulai terdengar. Kemudian perlawanan ditujukan kepada Republik Filipina di Manila. Orang-orang Moro menuduh militer Filipina memihak orang-orang Kristen, dan bukan tanpa alasan. Pada bulan Maret 1968, 28 orang tentara Muslim yang sedang dilatih dibunuh secara masal di Pulau Cooregidor, karena menolak dikirim ke Sabah melawan bangsa mereka sendiri dalam sebuah "Operasi Merdeka". Muncul reaksi keras dari pihak Muslim, dan berdirilah Muslim Independence Movement bulan Mei 1968. Tidak ada pengadilan atas tentara yang terlibat. Pada 19 Juni 1971 kembali terjadi peristiwa pembunuhan masal di Manili. Sebanyak 70 orang Muslim dibunuh di sebuah masjid di Barrio Manili, Carmen, Cotabato Utara. Juga tidak seorang anggota tentara Filipina pun diadili. Maka, para pemuda MlM yang sudah terlatih militer pun mengumumkan berdirinya Moro National Liberation Front (MNLF) dengan sayap militernya, Bangsa Moro Army (BMA), pertengahan 1871. MNLF berhasil mendapat bantuan dari rakyat dan ulama setempat. Seruan jihad mendapat bantuan, dan gerakan MNLF segera tersebar ke seluruh Mindanao. Gerakan itu tidak berhenti ketika UU darurat diberlakukan. Korban semakin banyak di kedua pihak. Mereka yang lari dari tempat tinggal sekitar setengah sampai satu juta. Sekitar 200.000 orang mengungsi ke Sabah. MNLF mendapat pengakuan Dunia Islam, dan masalah Moro menjadi masalah internasional. Ketika pemerintahan Marcos menandatangani Persetujuan Tripoli, 23 Desember 1976, atas usaha Konperensi Islam, ada harapan untuk perdamaian. Dalam persetujuan itu Marcos berjanji memberikan status otonomi. MNLF sudah menyusutkan tuntutannya dari pemisahan ke otonomi. Perdamaian itu tidak membawa hasil, karena status otonomi ditolak dalam plebisit di Filipina Selatan. Orang Moro sudah menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Bagi pemenang kekuasaan, otonomi Mindanao dan Sulu bukan berita baik. Usaha-usaha besar domestik dan asing -- Amerika dan Jepang -- melimpah di selatan. Perusahaan multinasional dalam industri dan agribisnis tidak akan membiarkan kepentingan mereka diletakkan di bawah orang-orang Moro. Orang-orang kaya dan pemilik tanah di Filipina yang terkena land reform pasti punya harapan besar di selatan. Bahkan, meskipun setelah tokoh-tokoh gereja sanggup melihat masalah Moro dengan penuh pengertian, masalah ekonomi tidak mudah diselesaikan. Pihak militer juga mempertimbangkan soal keamanan. Ada dimensi politik dan ekonomi internasional dalam masalah Moro. Tidak seperti masalah NPA dan land reform, Amerika tidak akan mendesak pemerintahan Cory untuk menyelesaikannya. Jika MNLF berkesimpulan bahwa musuh mereka sebenarnya ialah usaha-usaha besar domestik dan asing, mereka akan bergabung dengan gerakan-gerakan kiri di Filipina dan di dunia. Semoga Cory tidak memaksa mereka berbuat demikian. *) Penulis adalah sejarawan, pernah meneliti orang-orang Moro yang tinggal di Manila, selama enam bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini