Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimantan Selatan tengah berduka. Banjir besar menerjang 10 kabupaten/kota sejak tanggal 12 Januari lalu. Belasan orang meninggal dunia dan puluhan ribu penduduk harus mengungsi, menambah pilu kisah-kisah dramatis lainnya diantaranya sejumlah ibu yang harus melahirkan di atas perahu akibat banjir itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai pihak kemudian hanyut dalam hiruk pikuk memperbincangkan penyebab banjir yang konon terbesar di Kalsel dalam 50 tahun terakhir. Kelompok aktivis lingkungan seperti Walhi dan Jatam menganggap banjir diakibatkan oleh alih fungsi lahan secara masif menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Situasi tersebut diklaim telah membuat Kalsel mengalami kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis yang sebenarnya tinggal menunggu waktu munculnya bencana seperti yang terjadi kali ini. Sebagian akademisi tampaknya sepakat dengan argumentasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Versi pemerintah lain lagi. Presiden Jokowi mengungkapkan curah hujan yang tinggi telah membuat Sungai Barito tidak mampu menampung limpahan air sehingga menyebabkan banjir besar. Menteri LHK Siti Nurbaya pada tanggal 20 Januari membuat rangkaian tweet panjang untuk menjelaskan bahwa telah terjadi anomali cuaca selama lima hari pada tanggal 9-13 Januari 2021. Pada periode ini telah terjadi peningkatan curah hujan 8-9 kali lipat dari biasanya, sehingga air yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3 jauh dari situasi normal yaitu 238 juta m3. Namun, argumentasi pemerintah ini tidak juga serta merta dapat diterima oleh publik secara luas.
KLHK sebenarnya telah mengafirmasi bahwa selama 1990-2019 telah terjadi penurunan luas hutan alam DAS Barito sebesar 62,8%, dengan 55,5% di antaranya terjadi pada periode 1990-2000. Tapi data ini buru-buru dianggap tidak ada kaitannya dengan intensitas banjir sama sekali. Beberapa penjelasan teknis dinarasikan berulang-ulang untuk menegaskan bahwa penyebab banjir Kalsel adalah anomali cuaca dan bukan soal kerusakan lingkungan.
Menariknya, nyaris tidak ada penjelasan atau klarifikasi berarti dari pelaku usaha industri pertambangan dan sawit terkait masalah ini.
Apapun penyebabnya, permasalahan banjir sudah seharusnya menjadi perhatian bersama semua pihak. Pemerintah tidak bisa terus-menerus mengandalkan narasi curah hujan tinggi, ketika perhatian publik terhadap lingkungan hidup terus meningkat. Perlu ada langkah-langkah mitigasi strategis, sistematis, dan terintegrasi dalam menghadapi permasalahan ini.
Diskursus yang bekembang harus ditanggapi serius, lebih dari sekedar wacana dan menuduh publik telah salah memahami penyebab banjir. Jika isu lingkungan hidup seperti banjir ini tidak ditangani dengan baik maka bisa dipastikan rencana-rencana besar pemerintah di Pulau Kalimatan seperti rencana pemindahan ibu kota negara bakal terancam. Penolakan publik akan terus meningkat dan bahkan berpotensi meluas ke daerah-daerah pengembangan industri lain di Indonesia, yang dapat memicu konflik antara pemerintah, industri, dengan masyarakat.
Ekspektasi Terhadap Perlindungan Lingkungan
Bangsa ini tampaknya luput memahami bahwa penduduk dunia telah dan akan terus bergeser menjadi lebih kritis terhadap isu lingkungan. Tapi kesannya kita di sini seolah menjadi buta huruf, tidak mampu membaca jelas pesan yang hendak diberikan dari berkembangnya produk-produk ramah lingkungan di berbagai negara maju. Mulai dari tuntutan meninggalkan bahan bakar fosil, revolusi kendaraan listrik menjadi yang menggunakan energi bersih dan terbarukan, pengetatan industri sawit, kemasan-kemasan ramah lingkungan, hingga industri pariwisata yang rendah emisi. Ini bukan sekedar gaya-gayaan, Ferguso!
Kita harus sadar sepenuhnya bahwa kemunculan produk-produk tersebut bukan semata-mata kebaikan hati para kapitalis untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Ini sungguh hanyalah respon modal menghadapi peningkatan kepedulian konsumen terhadap perlindungan lingkungan hidup. Orang-orang menjadi lebih selektif membeli barang. Karena itu, kaum industrialis tidak punya pilihan lain selain harus memproduksi barang dan jasa secara ramah lingkungan agar dapat diterima pasar secara berkelanjutan.
Negara sepatutnya juga harus mampu melihat situasi ini secara jernih. Pemerintah harus memahami bahwa dunia telah mengalami peningkatan ekspektasi terhadap perlindungan lingkungan pada setiap aktivitasnya. Ini bukan hanya sekedar trend di negara-negara barat, namun telah menjadi konsensus global termasuk Indonesia.
Karena itu publik merasa sangat terhina jika negara menafikkan adanya peluang kerusakan lingkungan sebagai penyebab banjir. Pemerintah boleh saja mengatakan bahwa curah hujan tinggi sebagai pemicu banjir dengan sederet data yang mereka punya. Namun, ketika terkesan mengabaikan faktor kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA berlebihan sesungguhnya ini telah secara sembrono menabrak logika publik. Eskalasi kepedulian lingkungan tiba-tiba saja dengan mudahnya dinegasikan oleh narasi sekedar perubahan cuaca. Gaya komunikasi ini telah menyinggung dan memancing kemarahan, karena selain tidak menyelesaikan masalah juga cenderung menghina kecerdasan publik.
Daya Dukung Ekologi
Perdebatan tidak akan pernah berujung jika pemerintah hanya sekedar menjustifikasi anomali cuaca sebagai penyebab tunggal banjir Kalsel. Pemerintah harusnya cukup rendah hati membuka ruang diskusi terhadap permasalahan ini.
KLHK sebenarnya mengatakan bahwa penurunan luas tutupan lahan pada lima tahun terakhir cenderung berkurang, namun sayangnya tanpa diimbangi data yang komprehensif. Mereka harusnya menggambarkan kurva laju penurunan tutupan lahan yang menunjukkan pencapaian tersebut sekaligus meyakinkan publik bahwa kita sesungguhnya telah berada di jalur yang benar dalam melawan deforestasi. Klaim KLHK bahwa negara telah melakukan rehabilitasi-revegetasi pada areal lahan kritis di DAS di Kalsel juga harus dibuktikan dengan angka-angka yang mudah dicerna oleh awam.
Pemerintah kemudian bisa membuat kalkulasi lanjutan. Misalnya penurunan laju bukaan hutan dan keberhasilan rehabilitasi lahan dalam lima tahun terakhir telah mampu mengurangi sekian banyak debit air yang harusnya masuk ke DAS jika tanpa ada perlakukan. Karena itu, pencapaian ini telah menghindarkan kita dari banjir yang lebih besar lagi dan jika ditambah simulasi visual maka publik dapat dengan mudah memahaminya.
Di sektor pertambangan, Kementerian ESDM harus bisa memastikan keseimbangan neraca bukaan lahan untuk pertambangan dengan keberhasilan reklamasi. Artinya, laju jumlah luas lahan yang dibuka harus seimbang dengan lahan yang berhasil direklamasi. Pemerintah harus berani menangguhkan izin pembukaan lahan baru jika perusahaan belum berhasil menyeimbangkan neraca lahan ini. Dengan demikian, performa lingkungan akan menjadi patokan kemajuan kegiatan penambangan.
Keberhasilan reklamasi dan kegiatan pascatambang juga perlu pendekatan yang lebih serius, yaitu rehabilitasi lahan yang bertujuan untuk mengembalikan daya dukung ekologi. Jangan sampai industri pertambangan terjebak pada upaya mencari-cari bentuk pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai jalan keluar legal dari ketidakmampuan untuk mempertanggungjawabkan aktivitas eksploitasi SDA. Bentuk-bentuk alih fungsi dengan mengabaikan pengembalian daya dukung lingkungan seperti inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya bencana.
Jika langkah-langkah perlindungan lingkungan tersebut sudah dilakukan dengan baik, barulah publik dapat menerima narasi bahwa banjir disebabkan oleh anomali cuaca.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis, tidak mewakili institusi manapun.