Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENEGAK hukum yang merangkap makelar perkara sesungguhnya adalah pengkhianat dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Polisi, jaksa, dan hakim semestinya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Maka, jika mereka justru melakukan perbuatan nista itu, sudah sepatutnya mereka dikutuk orang ramai.
Karena itu, kelakuan Subri, Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, yang pekan lalu dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap, sungguh sepatutnya diusut tuntas. Subri ditangkap bersama Direktur PT Pantai Aan, Lucyta Anie Razak, di kamar hotel. Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang US$ 16.400 dalam sebuah tas kulit.
Perkara PT Pantai Aan bermula ketika perusahaan itu menuding Sugiharta alias Along memalsukan sertifikat lahan seluas 4,3 hektare di Desa Selong Belanak, Praya Barat, Lombok Tengah. Pada akhir November lalu, Kejaksaan Negeri Praya menuntut Aan dua tahun penjara. Sebelumnya, PT Pantai Aan juga melaporkan Along ke polisi karena mencaplok tanah. Suap kepada Subri dari Lucyta diduga agar kejaksaan membantu PT Pantai Aan memenangi perkara.
PT Pantai Aan dimiliki oleh Bambang W. Soeharto, bekas Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. KPK telah menggeledah rumah Bambang dan meminta instansi imigrasi mencegahnya ke luar negeri. Bambang benar-benar kelewatan jika terbukti terlibat rasuah ini. Sebagai mantan Komisioner Komnas HAM, seharusnya ia tahu korupsi merupakan pelanggaran paling hakiki terhadap hak asasi orang banyak.
KPK harus didukung untuk menuntaskan perkara ini. Jaksa Praya tak mungkin bekerja sendiri. Sejumlah pegawai Pengadilan Negeri Praya dan beberapa anak buah Subri kini telah masuk daftar cegah imigrasi.
Pengakuan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Mahfud Manan bahwa lembaganya kalah cepat dengan KPK hanyalah apologia yang sama sekali tidak jenaka. Menurut Mahfud, Kejaksaan sudah menyelidiki perkara Praya, tapi target mereka lebih dulu ditangkap KPK. Jangan-jangan yang terjadi malah lebih buruk: rasuah itu diketahui tapi dibiarkan. Apalagi pihak Along sudah melaporkan adanya resepsi makan malam direksi PT Pantai Aan bersama jaksa Praya dan staf Kejaksaan Negeri pada Oktober lalu.
Pelanggaran etika itu—di luar pengadilan, penegak hukum dilarang berhubungan dengan pihak beperkara—terjadi beberapa pekan sebelum jaksa Subri ditangkap. Alih-alih mengambil langkah tegas, laporan itu hanya direspons Kejaksaan dengan meminta klarifikasi mereka yang dicurigai terlibat. Jika tak ingin dituding sebagai lembaga peternak koruptor, Kejaksaan Agung harus memperbaiki sistem pengawasan internalnya.
Mengingat sengitnya bau korupsi dalam perkara ini, pengadilan tak perlu buru-buru memutus sengketa. Hakim mesti diperiksa agar putusan ganjil tak muncul. Jika dianggap perlu, hakim yang dicurigai terlibat dapat diganti dengan majelis yang lain. Badan Pengawas Hakim Mahkamah Agung silakan saja turun tangan. Tapi mereka tak boleh menghalangi kerja KPK, apalagi dengan buru-buru menyimpulkan bahwa dalam skandal ini hanya terjadi pelanggaran etika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo