Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMANG banyak partai yang dapat menjadi peserta Pemilu 2004. Tapi yang akan menentukan warna kompetisi politik cuma dua partai, yaitu PDIP dan Partai Golkar. Hanya salah satu dari keduanya yang mungkin menang. Partai-partai besar lainnya (PPP, PKB, dan PAN) hanya akan menjadi pelengkap dalam koalisi antarpartai, dan partai-partai baru yang bermunculan dalam setahun terakhir tampaknya belum mampu menembus dominasi pemain lama.
Itulah salah satu yang bisa disimpulkan jika kita mempelajari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen, seperti Danareksa Research Institute (DRI), International Republican Institute (IRI), serta Universitas Islam Negeri Jakarta yang bekerja sama dengan Ford Foundation. Keempat lembaga ini melakukan penelitian terhadap voting behaviour masyarakat Indonesia dengan basis metodologi yang kuat.
Dari ketiga penelitian tersebut, memang terlihat satu fakta menarik: proporsi undecided voters, yaitu mereka yang saat ini belum menentukan pilihan, ternyata cukup besar. Variasi angkanya berkisar 35 hingga 50 persen dari jumlah responden. Artinya, kalau diterjemahkan dalam konteks Pemilu 2004, masih ada sekitar 50 juta pemilih yang tetap terbuka untuk diperebutkan oleh siapa pun.
Tapi sebenarnya fakta itu hanyalah sebuah kemungkinan berdasarkan hasil proyeksi statistik. Dalam kenyataannya, sebagian dari 50 juta pemilih itu tidak akan memilih sama sekali. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya setengah dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Di negeri-negeri demokrasi lainnya, variasi voter turnout berkisar 60 hingga 70 persen. Dari sini mungkin bisa diperkirakan bahwa, dari 50 juta pemilih di negeri kita yang masih ragu-ragu saat ini, sekitar 20 juta hingga 30 juta di antaranya yang pada akhirnya akan mencoblos partai dan tokoh favorit mereka.
Sekitar 30 juta suara (25 persen dari total pemilih) adalah jumlah yang sangat besar. Apakah mereka akan menjadi suatu voting block tersendiri? Saya kira tidak. Mereka akan terpecah mengikuti pola distribusi suara yang memang sudah ada. Dan sebagian pecahan suara inilah pada akhirnya yang akan menentukan pemenang Pemilu 2004, PDIP atau Partai Golkar.
Pertaruhan yang sesungguhnya terletak pada upaya merebut pecahan undecided voters itu. Apakah partai berlambang banteng yang akan lebih jeli? Atau, malah partai beringin yang lebih tahu bagaimana harus merebut dukungan kelompok pemilih yang saat ini masih skeptis dan terus menunggu?
Jawabnya masih belum jelas. Namun, dari kecenderungan yang ada akhir-akhir ini, tampaknya Partai Golkar sedang mendapat angin untuk melaju lebih cepat. Dari hasil survei DRI, misalnya, terlihat bahwa antara Oktober 2002 dan Februari 2003 terjadi penurunan suara yang cukup signifikan bagi PDIP, sementara dukungan bagi Partai Golkar bertambah, bahkan di daerah seperti Jawa Tengah yang pada pemilu lalu menjadi salah satu basis terkuat partai berlambang banteng itu.
Yang paling menarik, turunnya suara PDIP ternyata terjadi paling drastis di kalangan pemilih yang berpenghasilan terendah, sementara penambahan suara bagi Partai Golkar terutama karena didorong oleh peningkatan dukungan dari kalangan yang sama. Pada tingkat tertentu, hal ini mencerminkan bahwa di kalangan wong cilik rupanya sedang terjadi suatu political realignment yang tak kasatmata, sebuah eksodus politik dari kandang banteng ke partai beringin.
Partai yang pernah berkuasa di bawah pemerintahan Orde Baru ini mungkin dianggap lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang masih terus menjepit kalangan bawah. Mungkin pula sebagian orang kini merindukan kembalinya zaman pertumbuhan ekonomi tinggi yang pernah berlangsung di bawah kepemimpinan Soeharto.
Semakin dekat ke pemilu, apa yang sering disebut sebagai bandwagon effect akan semakin kuat pengaruhnya. Pergeseran yang satu akan mempengaruhi pilihan yang lainnya, dan seterusnya sehingga partai yang dianggap atau dipersepsikan sebagai partai favorit akan memperoleh dukungan yang semakin besar. Jika efek seperti ini nantinya juga meluas dan mempengaruhi sebagian pecahan undecided voters yang akan menjadi penentu pemenang Pemilu 2004, sebaiknya PDIP mempersiapkan diri untuk menerima kabar buruk.
Masih tersisa waktu sepuluh bulan sebelum rakyat menjatuhkan pilihannya. Banyak hal masih dapat terjadi. Partai Golkar mungkin tergelincir, sementara peluang bagi PDIP tetap terbuka untuk menyadari kekeliruannya dan kemudian berupaya merebut kembali kepercayaan rakyat.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh kedua partai terbesar ini dalam beberapa bulan mendatang juga akan mempengaruhi hasil akhir dalam perebutan posisi presiden. Memang, komposisi dukungan partai di parlemen tidak harus sama dengan distribusi suara bagi tokoh-tokoh yang memperebutkan posisi nomor satu di lembaga eksekutif. Namun perbedaan ini tidak akan terlalu jauh. Partai dan tokohnya tetap terkait erat.
Kecenderungan demikian terlihat cukup jelas dalam survei yang dilakukan oleh DRI dan IRI. Secara faktual, menurunnya suara PDIP diikuti oleh melemahnya dukungan terhadap Megawati. Tetapi, berbeda dengan distribusi dukungan pada partai-partai, posisi putri Bung Karno ini relatif tetap dominan. Jarak yang ada antara Megawati dan tokoh yang merebut posisi kedua cukup jauh berada di atas jarak yang ada antara PDIP dan pesaing utamanya.
Hal itu berarti bahwa, bagi banyak kalangan, tokoh alternatif yang mampu menggantikan posisi Megawati belum muncul. Dalam soal persaingan antarpartai, PDIP sudah menemukan pesaing yang hampir seimbang. Namun, dalam perebutan posisi presiden, belum satu pun yang dapat menyaingi Presiden RI ke-5 itu. Saya kira perbedaan demikian terjadi karena faktor Akbar Tandjung. Dalam semua survei yang pernah saya amati, dukungan responden terhadap ketua umum partai berlambang beringin ini selalu jauh lebih kecil ketimbang dukungan terhadap para tokoh dari partai besar lainnya.
Bahkan bisa disimpulkan bahwa jarak dukungan yang jauh antara Akbar Tandjung dan partainya merupakan satu-satunya pengecualian dari pola keterkaitan antara partai dan tokohnya. Partai Golkar memperoleh peningkatan dukungan yang cukup besar, sementara suara bagi ketua umumnya selalu berada di batas air. Dalam satu segi hal ini memperlihatkan bahwa Partai Golkar sebenarnya adalah sebuah partai modern. Sebab, ia tak bergantung pada popularitas tokohnya (bandingkan jika Megawati tidak lagi memimpin PDIP). Namun, dari segi lain, fakta sederhana itu juga menunjukkan bahwa Akbar Tandjung memang harus berbesar hati untuk mengakui bahwa, dalam proses pemilihan presiden, dirinya hanya menjadi beban partainya. Sebagai kandidat, ia tidak akan pernah bisa mendekati perolehan Megawati, terlepas dari putusan akhir pengadilan terhadap kasus hukum yang kini menimpanya.
Semua itu tentu saja tidak berarti bahwa posisi Megawati sudah relatif aman. Jika Partai Golkar pada akhirnya tidak memunculkan Akbar Tandjung sebagai kandidat presiden, dan sebagai gantinya menyodorkan seorang kandidat yang populer, relatif muda, serta dianggap mampu mengatasi persoalan-persoalan yang mendesak, terutama berbagai masalah yang masih tersisa dari krisis ekonomi selama ini, persaingan dalam memperebutkan posisi presiden pasti akan berlangsung seru.
Dalam hal itulah terletak pentingnya konvensi nasional di Partai Golkar. Kalau perhelatan ini berhasil memilih seorang kandidat presiden yang ideal, Megawati harus bekerja ekstrakeras untuk tetap mempertahankan posisi dominan yang sejauh ini tetap dimilikinya. Hanya satu hal yang dapat mengubah secara drastis peluang terjadinya kompetisi yang seru dalam pemilihan presiden, yaitu jika pada akhirnya Megawati menggandeng kandidat yang muncul lewat konvensi Partai Golkar sebagai wakil presiden. Jadi, bukannya berseteru, Megawati dan PDIP mengajak Partai Golkar dan kandidatnya bersekutu. Jika ini terjadi, pemilu untuk memilih tokoh nomor satu di lembaga eksekutif praktis sudah berakhir sebelum dimulai. Sebab, pemenangnya bisa ditebak dengan mudah.
Tetapi jalan menuju ke sana agak licin, masih mengandung sekian teka-teki. Dengan meningkatnya popularitas Partai Golkar akhir-akhir ini, bukankah para tokohnya akan tergoda untuk meraih the ultimate prize? Mengapa mereka harus puas dengan posisi ban serep jika kemungkinan untuk lebih dari itu sesungguhnya masih terbuka, misalnya dengan memimpin koalisi ABM (asal bukan Mega)? Di kubu Partai Golkar sendiri, jawaban terhadap pertanyaan itu agaknya masih mendua. Para tokoh partai beringin ini masih perlu waktu sebelum meletakkan semua kartu mereka di atas meja.
Demikian pula halnya dengan kubu Megawati. Yang terlihat sekarang adalah sikap yang sangat hati-hati dalam berbicara mengenai paket presiden dan wakilnya. Mereka menunggu apa yang akan terjadi pada konvensi Partai Golkar, serta melihat perkembangan politik yang terjadi di panggung yang lebih besar.
Skenario drama Pemilu 2004 tertulis pada pilihan-pilihan yang kini sedang dipertimbangkan oleh kedua kubu tersebut. Para tokoh dari partai lainnya hanya bisa melirik dari pinggir arena. Dan kita semua siap bertepuk tangan, atau menguap dengan jemu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo