Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Globalisasi: dari Buruh sampai Mahaguru

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ariel Heryanto Dosen The University of Melbourne REKTOR bukan profesi yang enak atau gampang di Indonesia pada masa ini. Dari pihak pemerintah, universitas dituntut lebih mandiri secara finansial. Orang tua mahasiswa dan khalayak menuduh universitas telah menjadi komersial dan kapitalistis karena menaikkan uang pendaftaran dan uang kuliah. Sedangkan dosen yang berprestasi menganggap universitas gagal menyediakan gaji dan iklim kerja yang pantas. Apa pun tindakan yang dipilih universitas seakan menjadi serba salah. Pernyataan Satryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, tentang puluhan dari sebagian dosen terbaik Indonesia yang bekerja di Malaysia, Singapura, atau Brunei mengangkat kembali persoalan yang tidak baru tapi semakin serius. Persoalan itu dapat disebut sebagai merasuknya pendidikan dan tenaga kerja profesional Indonesia ke dalam kapitalisme global. Sayangnya, tanggapan publik Indonesia sering kali masih berwatak nasional—jika bukan pranasional. Ketika pendidikan Indonesia ditelan proses transnasional, elite politik Indonesia berdebat tentang identitas keagamaan guru dalam pengajaran agama, dan para pendukung masing-masing berbaku hantam di jalanan. Disukai atau tidak, urusan anak didik dan dosen kita tidak berbeda jauh dari status buruh bangunan atau pembantu rumah tangga. Dua puluh tahun lalu, seorang ibu di Jawa bisa dilabrak tetangganya bila menggaji seorang pembantu sepuluh ribu rupiah lebih tinggi dari yang lazim di kampungnya. Si ibu dianggap merusak harga pasaran. Sekarang ukuran kepantasan gaji seorang pembantu rumah tangga tidak ditentukan oleh kemurahan hati satu atau dua majikan di kampung, melainkan oleh pasar kerja berskala global. Nilainya setinggi gaji dosen di Indonesia. Yang "merusak" harga pasaran pembantu di kampung adalah jutaan orang yang tidak saling kenal. Mereka terdiri atas para majikan, pemerintah, dan agen makelar antarbangsa: Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Hong Kong, atau Taiwan. Begitu juga nasib universitas, mahasiswa, dan dosen. Minggu-minggu ini, publik terkaget-kaget dan marah karena beberapa universitas besar di Indonesia membuka jalur khusus senilai Rp 5 juta sampai Rp 40 juta bagi calon mahasiswa dari keluarga kaya tapi nilai prestasi akademiknya kurang. Namun salah alamat jika amarah ditujukan kepada pengelola universitas. Biaya pendidikan di Indonesia telah mencekik napas ekonomi orang tua. Situasi ini masih akan memburuk, tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin lembaga pendidikan, apa visi dan kualitas moral serta intelektualnya. Uang pendaftaran dan biaya pendidikan tidak lagi secara bebas ditentukan oleh seorang rektor, atau bahkan oleh semua rektor di seluruh Indonesia secara bersamaan. Di Indonesia, jumlah tempat yang disediakan untuk mahasiswa lewat jalur khusus mungkin tidak lebih dari seribu. Padahal, yang sudah berlangsung bertahun-tahun, belasan ribu calon mahasiswa sebangsa dan setanah air setiap tahunnya membayar 2 sampai 15 kali lebih tinggi untuk kuliah di luar Indonesia. Di ruang kuliah di berbagai negara itu, beberapa teman sekuliah mereka berasal dari Indonesia. Bahkan dosen atau tutor mereka ada yang berasal dari Indonesia pula. Apa kesimpulan sementara yang dapat diambil? Pertama, secara individual dan swasta ada cukup banyak orang Indonesia yang berhasil mengatasi bahkan berselancar-ria di atas gelombang perubahan sosial yang disebut globalisasi. Dari segi kualitas sumber daya, manusia Indonesia tidak kurang dari rekan-rekannya berbangsa lain. Indonesia tidak hanya mengekspor buruh dan pembantu murah untuk kapitalisme global, tapi juga tenaga profesional yang kompetitif. Kedua, walau terbukti ada yang mau dan mampu membayar puluhan juta per tahun untuk biaya hidup dan pendidikan, orang Indonesia memilih pendidikan tinggi di negeri lain. Ini sebuah bukti ketidakpercayaan mereka kepada kualitas jasa pendidikan di tanah air sendiri, terlepas dari benar atau tidaknya penilaian itu. Akibatnya, dana besar yang khusus disiapkan untuk pendidikan oleh dan bagi orang Indonesia itu masuk ke kas lembaga pendidikan di luar negeri. Seandainya dana ini berputar di Indonesia sendiri, bukan hanya gaji dosen dan pegawai administrasi universitas yang dapat ditingkatkan. Dinamika intelektual mereka juga mungkin meluber ke perdebatan publik di luar kampus. Persoalan ketiga berkait dengan yang tersebut belakangan, dan sangat kurang dibahas dalam banyak berita belakangan tentang topik serupa. Transaksi pasar pendidikan tidak semata-mata persoalan keuangan. Masalah keuangan menjadi salah satu prasyarat, tapi jelas bukan satu-satunya. Kapitalisme—seperti banyak isme yang lain—dalam dunia pendidikan tidak dengan serta-merta menciptakan malapetaka. Dalam suatu konteks sosial tertentu, kapitalisme bisa dan telah mendorong sejumlah inovasi teknologi dan kreativitas intelektual, tapi dalam konteks yang lain kapitalisme menjadi sumber malapetaka sosial. Menanggapi laporan Satryo Soemantri Brodjonegoro tentang hengkangnya puluhan dosen pegawai negeri bergelar doktor, berbagai pihak mengusulkan kenaikan gaji dosen kita. Tentu saja usul simpatik itu patut dihargai dan moga-moga pula segera menjadi kenyataan. Tapi naif sekali bila ada yang berpikir bahwa dunia pendidikan Indonesia akan menjadi lebih baik hanya karena gaji dosen dinaikkan beberapa kali lipat. Hal yang sama dapat dikatakan untuk berbagai profesi lain: polisi, perawat, jaksa, hakim, tentara, pilot, atau buruh. Persoalannya bukan berapa besar gaji dosen yang pantas untuk kehidupan yang layak dan kegiatan ilmiah sehari-hari di kampusnya. Persoalannya, ukuran kepantasan itu ditentukan oleh pasar global, yakni sejauh mana prestasi dosen kita—berapa pun gajinya—siap bersaing dengan rekan-rekannya dari Malaysia, Singapura, Filipina, India, Vietnam, atau Australia. Peningkatan daya saing para dosen kita dalam penelitian, publikasi, dan inovasi ilmiah pada tingkat global tidak semata-mata ditentukan oleh gaji, tapi juga oleh banyak hal di dalam dirinya sendiri (kebiasaan, etos kerja, dan jadwal kerja) ataupun di luar dirinya (perangkat kerja, fasilitas, iklim kerja, pranata kelembagaan, dan lingkungan sosialnya). Walau menerima gaji yang relatif kecil, dosen di Indonesia merupakan sebagian dari elite negara berkembang. Mereka menikmati sejumlah hak istimewa, penghargaan, atau kewibawaan dari masyarakat yang tidak tersedia bagi rekan-rekannya di masyarakat industrial. Kadang-kadang penghargaan sosial ini juga berimplikasi pada imbalan material yang resmi dan absah. Di negeri industrial, perbedaan status seorang dosen dengan buruh tidak sebesar yang menganga di Tanah Air. Cepat atau lambat, globalisasi akan meningkatkan gaji dosen di Tanah Air. Tapi globalisasi juga menghapuskan sejumlah hak istimewa yang selama ini dinikmati dosen, yang belum tentu siap melepaskannya dengan rela. Dosen di beberapa negara industrial digaji besar untuk menyelesaikan beban dan tanggung jawab yang juga beberapa kali lipat lebih berat dari rata-rata dosen di Indonesia. Walau kedengaran agak berlebihan, pernah ada anekdot di kalangan sarjana Indonesia yang kuliah di luar negeri. Katanya, gelar doktor merupakan puncak karier bagi dosen di Indonesia. Dengan gelar itu, ia tidak perlu—walau boleh-boleh saja jika mau—belajar terus, mengikuti perkembangan ilmu di bidangnya, bekerja lembur berbulan-bulan untuk meneliti, dan membuat publikasi. Sedangkan di banyak negeri industrial, gelar doktor barulah merupakan sebuah tiket untuk masuk gelanggang adu ilmu dan kerja dengan tingkat persaingan yang keras. Baru masuk berarti tidak ada jaminan ia masih akan selamat setelah masuk setahun. Bahkan tidak semua sarjana bergelar doktor bisa masuk menjadi dosen karena semakin sempitnya lapangan kerja dan meningkatnya persaingan global. Globalisasi dalam industri pendidikan tidak saja menghantam Indonesia. Di sejumlah negara yang lebih kuat ekonominya dari Indonesia, masih terjadi perbedaan antara yang lebih kaya dan paling kaya. Yang terjadi bukan hanya puluhan dosen Indonesia yang hijrah ke negeri seperti Malaysia, Singapura, atau Brunei. Sejumlah dosen di negeri itu hijrah ke negeri seperti Inggris, Kanada, atau Australia untuk mendapatkan penghargaan dan tempat kerja lebih baik. Sedangkan puluhan dosen terbaik dari negeri-negeri yang tersebut belakangan memburu karier di Amerika Serikat. Tentu saja ini gambaran karikatural. Yang terjadi lebih simpang-siur dan silang arus balik dalam mobilitas tenaga kerja akademik. Globalisasi juga telah merepotkan banyak rektor di berbagai belahan dunia lain. Di Australia, banyak universitas terpaksa menutup sebagian departemen atau mengurangi jumlah dosennya. Untuk mengatasi kesulitan finansial, mereka berebut mencari calon mahasiswa dari Asia yang kebetulan sedang mendambakan jasa pendidikan di luar Asia. Itu sebabnya skala dan frekuensi promosi jasa pendidikan luar negeri menjadi marak di Indonesia, di sela-sela promosi properti, sabun, parfum, atau pariwisata. Bagi para mahasiswa asing dari Asia ini juga disediakan "jalur khusus" dalam proses pendaftaran, walau dengan istilah dan prosedur berbeda. Yang lebih parah, pernah ada skandal, pihak administrasi di beberapa universitas Australia dituduh menekan dosennya agar memberikan kemudahan dan kemurahan penilaian bagi mahasiswa asing ini agar mereka tetap terdaftar sehingga sumbangan mereka berlanjut. Globalisasi telah memungkinkan bertemunya banyak cendekiawan muda dari Asia di pusat-pusat pendidikan terkemuka di luar Asia. Sebagian dari Indonesia, sebagai mahasiswa atau mahaguru. Bukan mustahil, dalam waktu dekat, pendidikan antarbangsa yang supermahal itu akan berlangsung di dalam wilayah teritori Indonesia. Di situ orang Indonesia terdaftar sebagai mahasiswa dari sebuah universitas asing, dididik oleh dosen dari Inggris, India, atau Gunung Kidul, membayar uang kuliah dalam dolar yang dikirim ke negeri asal universitas itu. Para rektor, dan penentu kebijakan pendidikan Indonesia, sebaiknya mulai merenungkan nasib anak didik dalam konteks makro seperti ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus