Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Banyak Bercanda Kisruh Bekerja

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA mengkritik seorang teman? Pertanyaan itu kini banyak menggelitik para aktivis prodemokrasi di Indonesia. Soalnya, sebuah pemerintahan baru telah terpilih secara demokratis, dan Gus Dur, sang pendiri forum demokrasi, telah duduk di kursi kepala negara. Tak ada lagi persoalan legitimasi pemerintahan, tapi tentu bukan berarti pemerintah lantas bebas dari masalah. Masalah, apa boleh buat, memang merupakan bagian dari hidup sehari-hari. Apalagi di negara yang ingin menegakkan sistem demokrasi, yang berarti merancang dirinya sebagai muara dari begitu banyak kepentingan warganya. Harus diakui, ini bukanlah perancangan yang mudah diterapkan, terutama bila hampir semua warga belum terbiasa berseberangan pendapat tapi tetap saling menghormat. Masih tersandera pada impian harmoni dan cenderung melihat keragaman sebagai suatu ancaman. Tapi masa transisi memang harus dilalui jika paradigma lama, yang telah terasa begitu menyesakkan, ingin ditinggalkan. Dan sebuah transisi boleh dikata tak pernah dikenal sebagai sesuatu yang menyenangkan. Memang selalu ada perkecualian, tetapi umumnya diingat sebagai sebuah masa ketidakpastian, kacau-balau, dan mudah menerbitkan rasa takut yang berganti-ganti dengan lonjakan harapan. Sebuah lahan subur tempat harap-harap cemas disemaikan. Dalam kondisi seperti ini, kesabaran dan keyakinan memang mutlak dibutuhkan demi menjaga kewarasan. Juga humor, dalam proporsi yang wajar, akan membuat perjalanan transisi lebih ringan dipikul. Namun, bila mulai berlebihan, tentu akan terasa menjengkelkan, dan perilaku Gus Dur sebagai presiden agaknya sudah mulai melewati batas kewajaran ini. Apalagi jika maraknya canda dari Istana itu dikaitkan dengan pelaksanaan roda pemerintahan selama seratus hari ini, yang—maaf saja—terasa kisruh. Misalnya saja kenyataan bahwa hampir semua pembantu Presiden Gus Dur yang masuk dalam struktur Sekretariat Negara ternyata belum mendapatkan gaji mereka. Juga fakta bahwa banyak anggota kabinet, bahkan termasuk sang Presiden, masih terbiasa mengeluarkan pernyataan sebagai pengamat dan lupa pada kedudukannya sebagai komandan di jajaran eksekutif. Semua hal itu, sampai saat ini, memang masih dimaklumi sebagai bagian dari perjalanan awal sebuah transisi, tapi yang mengkhawatirkan adalah kesan bahwa kurva belajar (learning curve) ini belum kelihatan ujung akhirnya. Sementara itu, masa bulan madu antara sebuah pemerintahan yang baru terpilih dan masyarakat sudah mulai memasuki babak akhir. Ketidaksabaran atas ketidakmampuan aparat keamanan dalam menghentikan kerusuhan di berbagai pelosok negeri mulai tercetus ke permukaan. Juga kedongkolan melihat para penikmat kolusi, korupsi, dan nepotisme masa lalu masih berseliweran dengan mobil mewah dan bersenda gurau di hotel-hotel wah—kendati namanya terpampang dalam daftar pengutang macet raksasa kepada pemerintah—sudah mendekati titik ledak. Sementara itu, sudah sering diberitakan pelaku kriminal kelas teri seperti maling ayam dibakar massa yang sudah tak percaya lagi pada aparat hukum di kampung-kampung. Ketidakpercayaan pada para penegak hukum ini adalah bibit kanker yang harus segera diamputasi. Bila tidak, daya rusaknya akan terus menular ke atas dan menghancurkan modal legitimasi pemerintah yang belum lama diraih dengan korban jiwa, air mata, dan darah itu. Betapa sia-sianya semua pengorbanan itu dan betapa nistanya kita semua bila cita-cita reformasi untuk membentuk Indonesia yang demokratis dan sejahtera kita biarkan tidak tercapai. Apalagi jika itu terjadi karena para elite terlalu sibuk berseteru memperebutkan posisi ketimbang membangun fondasi kebersamaan untuk mengangkat rakyat banyak dari ketertinggalannya selama ini. Semua kritik dan imbauan ini memang mudah diucapkan—juga tak terlalu sukar untuk ditulis—tapi menghadapi banyak godaan dan hambatan untuk diterapkan. Coba simak betapa bergairahnya seorang Marzuki Darusman ketika berbicara tentang perlunya hukum ditegakkan, tapi membutuhkan waktu tiga bulan sebagai Jaksa Agung hanya untuk menambah dua tersangka pada kasus skandal Bank Bali yang begitu berserakan bukti penyelewengannya. Juga begitu mudahnya para jenderal berpidato tentang perlunya supremasi hukum tapi mendadak gagu bila ditanya mengapa seorang letnan yang tertangkap basah dengan berkilo-kilo heroin tak pernah masuk pengadilan. Semua itu menyadarkan kita bahwa pernyataan seseorang, terutama para pejabat, harus selalu dipantau dan dibandingkan dengan perbuatannya. Presiden Gus Dur harus mengerti bahwa bila ia mengatakan ada tiga menteri terlibat KKN, identifikasi dan tindakan hukum kepada mereka akan terus ditunggu oleh masyarakat. Semakin lama pernyataan yang sempat menggemparkan itu dibiarkan tergantung, semakin banyak modal kepercayaan masyarakatnya yang akan tergerus. Bila kejadian seperti ini terus-menerus berulang, suatu saat Gus Dur akan kehilangan kepercayaan itu dan ini berbahaya bagi kelanjutan perjuangan demokratisasi bangsa. Seorang pemikir keturunan Jerman pernah mengatakan, "Kapasitas manusia untuk berbuat adil membuat sistem demokrasi mungkin dibangun dan kecenderungan manusia untuk melanggar keadilan membuat sistem demokrasi menjadi keharusan." Pandangan Reinhold Niebuhr ini membuat kita berkeyakinan, mengkritik seorang teman adalah pertanda persahabatan yang sejati. Apalagi kalau dibungkus dalam sebuah canda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus