Jika ada optimisme yang layak diharapkan kepada pemerintahan Abdurrahman Wahid di lapangan ekonomi, tampaknya jelas bahwa itu bukanlah penyelesaian krisis dalam waktu cepat. Optimisme itu terletak dalam kemampuannya mulai menyusun fondasi ekonomi baru yang tidak hanya dari titik nol, tapi bahkan dari minus. Dan sayangnya, itulah yang tidak tampak dilakukannya.
RAPBN yang baru melukiskan betapa gawatnya persoalan ekonomi: kombinasi utang pemerintah dan swasta mencapai 96 persen dari produk domestik bruto. Beban cicilan pemerintah sendiri tahun ini akan mencapai sepertiga dari total pengeluarannya—secara dramatis melemahkan kemampuannya untuk membiayai pembangunan infrastruktur kecuali berhasil mencari utang yang lain lagi. Dari sisi itu, Indonesia sebenarnya sudah masuk dalam lingkaran setan jebakan utang yang tiada ujung.
Betapapun mengerikannya, itu sebenarnya bukan fenomena baru. Abdurrahman Wahid, seperti juga B.J. Habibie, mewarisi utang yang fantastis ini dari model pembangunan ekonomi Soeharto, yang tampak mentereng dari luar tapi terbukti sangat keropos di dalamnya. Dua pemerintahan baru itu bahkan harus menambah utang lebih banyak untuk, dalam persentase besar, menyuntik sektor perbankan yang sekarat. Kolusi birokrasi dan pengusaha telah menjadikan sektor ini monster yang kian rakus dalam tata ekonomi kita.
Di dasar jurang kebangkrutan itulah kini Abdurrahman Wahid berdiri. Situasi seperti ini tak mungkin dipecahkan dengan langkah tambal sulam. Dia membutuhkan solusi radikal—dan itikad besar untuk mengucapkan selamat tinggal sepenuhnya kepada cara-cara lama dalam mengurus ekonomi.
Abdurrahman Wahid diuntungkan oleh tingkat inflasi rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang ditinggalkan Habibie. Gejolak sosial-politik yang diilhami oleh instabilitas ekonomi boleh diabaikan kemungkinan munculnya untuk sementara, sehingga pemerintah punya ruang memikirkan hal-hal fundamental.
Meski begitu, tetap tak banyak pilihan jalan keluar sebenarnya. Seradikal apa pun solusi yang harus ditemukan, Indonesia tak bisa berbeda dari rumus Dana Moneter Internasional (IMF)—belenggu yang diciptakan oleh besarnya utang. Rumus itu hampir pasti bersifat status quo, dan karitatif, ketimbang mendedah paradigma baru. Tapi, apa boleh buat, kecuali jika Indonesia ingin menjadi paria dalam kancah pergaulan internasional.
Kuncinya adalah melakukan langkah paling dramatis dari yang mungkin dilakukan dalam format IMF. Dan langkah itu, ironisnya, justru hampir-hampir bukan berbau ekonomi. Salah satu kesalahan terbesar Orde Baru adalah menerapkan sistem liberal IMF—swastanisasi dan liberalisasi keuangan—dalam iklim "hukum rimba".
Prestasi pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks ini haruslah diukur dari kemauannya untuk menegakkan supremasi hukum. Salah satu ukuran yang jelas: seberapa jauh dia bisa mulai menyeret pejabat, bankir, serta pengusaha yang telah menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis hingga bergenerasi ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini