Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAWAK Eko Patrio melarang siapa pun yang mencoba-coba jadi pelawak. Percuma, pasti kalah bersaing dengan bapak-bapak politikus yang lagi "lucu" semua sekarang ini, kata Eko ketika diwawancara televisi Jumat lalu, yang disambungnya dengan tertawa geli. Pelawak itu tak lantas dicekal seperti terjadi di masa lalu, dan itulah salah satu kemajuan demokrasi Indonesia. Tentang "politikus jadi lucu", pasti Eko sedang menggelitik akal sehat kita semua.
Usul mempercepat jatuhnya memorandum kedua untuk Presiden Abdurrahman adalah salah satunya.
Ada dua hal pokok yang dipersoalkan DPR menyangkut memorandum yang dilayangkan pada 1 Februari 2001. Pertama, kapan memorandum kedua boleh dilayangkan. Mulanya, enam fraksi, termasuk PDI Perjuangan dan Golkar, setuju memo kedua dilayangkan kapan saja sebelum 1 Mei 2001batas waktu yang diatur Ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1978. Pendapat Fraksi PKB yang mendukung Gus Dur, jawaban Presiden harus didengar dulu, baru diputuskan perlu memo kedua atau tidak. Ini memang soal "beda tafsir" yang dibahas seribu satu malam pun tak akan selesai.
Tapi logika dan akal sehat bisa menolong. Jika memo kedua jadi dilayangkan, apa pun jawaban Presiden pasti tak masuk dalam pertimbangan, lalu berdasarkan apa memo kedua disusun? Seolah-olah ada pikiran begini: apa pun jawaban Presiden tak penting disimak sejenak, cuekin saja, pokoknya "sikat" dengan memo kedua ("karena negara dalam bahaya"), lalu gelar Sidang Istimewa MPR, Gus Dur jatuh, semua akan beres. Pikiran begini, selain akan membanting martabat DPR, juga akan membuat orang tak percaya lembaga itu bisa menghormati aturan. Kegiatan ekstraparlementer akan dianggap lebih ampuh ketimbang adu kiat politik yang bising tapi damai di DPR. Potensi rusuh lebih besar.
Hal kedua yang diperdebatkan adalah soal materi memorandum. Logikanya, memorandum pertama berawal dari kerja Panitia Khusus DPR soal Bulog dan Brunei, lalu muncul rekomendasi ke DPR karena Presiden diduga terlibat. Terbitlah "kartu kuning" pertama itu. Tapi ada pendapat, memo kedua bisa juga turun untuk "pelanggaran" lain, mulai dari soal rupiah melemah, Exxon macet berproduksi, Sampit rusuh Presiden malah pergi, hingga sebab omongan Presiden bahwa kalau ia turun Madura dan lainnya bakal merdeka.
Preseden dari zaman yang lebih "kurang demokratis" bisa jadi ukuran. Sidang MPR (Sementara) digelar pada Juni-Juli 1966. Satu ketetapan yang dibuat, nomor 5, menyatakan pertanggungjawaban Presiden Sukarnodikenal dengan Nawaksara, sembilan pikirandianggap tak memuaskan. MPRS minta Bung Karno memperbaikinya. Yang mana? Dari sembilan pikiran BK, MPRS menyuruhnya merevisi jawaban, terutama soal Gerakan 30 September, kemunduran ekonomi, kemunduran akhlak bangsa. Itu batasnya. Setelah dijawabdengan Pelengkap NawaksaraMPRS tetap tak puas, baru Sidang Istimewa MPRS digelar, mulai 7 Maret 1967, delapan bulan setelah BK diberi kesempatan.
Jika kejadian itu bisa dirujuk, soal yang harus dijawab Gus Dur hanyalah Bulog dan Brunei. Adapun soal rupiah sampai Madura merdeka bisa saja dipersoalkan dengan hak dan perangkat lain yang dimiliki DPR.
Untung saja, di Senayan, Kamis lalu, PDI-P kemudian berbalik, sepaham dengan PKB, dan kelompok "jalur cepat" memo kedua akhirnya kalah. Akal sehat yang menang (lihat Nasional: Aksi Koboi Terantuk Megawati).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo