Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perizinan kerap menjadi isu penting saat membahas industri pertambangan. Sebagai bagian dari hukum publik, perizinan dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur serta mengawasi aktivitas setiap individu dan badan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mendelegasikan perizinan ke pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan bagi daerah untuk merumuskan regulasi, mengeluarkan izin, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desentralisasi kewenangan yang dibarengi dengan minimnya kapasitas fiskal, kelembagaan, dan mahalnya politik elektoral di Indonesia merupakan risiko kontekstual dalam korupsi di bidang pertambangan. Ini mendorong pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan daerah dengan cara mengorbankan akuntabilitasnya. Misalnya penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) sebanyak-banyaknya, yang justru menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemampuan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian.
Proses penerbitan izin pertambangan rentan terhadap praktik konflik kepentingan. Kasus korupsi izin usaha pertambangan yang melibatkan Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, menunjukkan jelas bagaimana konflik kepentingan antara politikus dan pengusaha dalam politik elektoral, patronase, dan desentralisasi perizinan.
Seolah-olah hendak berusaha menjawab persoalan itu, pemerintah melakukan sentralisasi perizinan tambang mineral dan batu bara. Kebijakan ini dilandasi keyakinan bahwa tantangan tata kelola dapat lebih efektif diatasi, serta risiko korupsi dan praktik perburuan rente di tingkat lokal lebih mudah dikendalikan.
Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kewenangan daerah ditarik ke pusat. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memperkuat sentralisasi perizinan usaha pertambangan.
Sentralisasi perizinan ini memberi peran krusial kepada pemerintah pusat yang berfokus pada kemudahan perizinan usaha dan mengurangi peran publik dalam menjaga akuntabilitas tata kelola dengan menghapus kriteria partisipasi masyarakat pada analisis mengenai dampak lingkungan. Sistem online single submission (OSS) tidak menawarkan masyarakat akses untuk memberi masukan terkait dengan kebijakan perizinan. Dengan tanggung jawab ini, pemerintah pusat menghadapi beban integritas yang tinggi.
Beban integritas mengacu pada tanggung jawab berat yang dihadapi oleh pemerintah pusat sebagai akibat dari sentralisasi perizinan, pengawasan, dan pembinaan yang sepenuhnya dikendalikan, tanpa melibatkan lembaga lain, pemerintah daerah, atau masyarakat secara menyeluruh. Pada titik inilah justru persoalan lain hadir.
Pertama, kegiatan usaha pertambangan yang berjalan secara ilegal. Korupsi timah ilegal di Bangka Belitung yang merugikan keuangan negara mencapai Rp 271 triliun terjadi karena rendahnya pengawasan pemerintah. Di sektor batu bara, berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, terdapat 166 titik aktivitas tambang ilegal yang berjalan di provinsi ini pada 2018-2022.
Kedua, kebijakan pertambangan cenderung elitis. Misalnya perdebatan mengenai pemberian IUP kepada organisasi masyarakat yang memicu perselisihan antara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menunjukkan bagaimana diskusi kebijakan IUP lebih berfokus pada perdebatan politik elite ketimbang substansi yang berkaitan dengan praktik pertambangan yang baik (good mining practices).
Untuk menjembatani model sentralisasi dan desentralisasi perizinan, diperlukan pendekatan demokrasi tata kelola pertambangan yang memperkuat kontrol publik dan komunitas melalui peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Ini termasuk pemberdayaan masyarakat lokal dan pemerintah daerah serta penerapan ragam standar dalam kegiatan usaha. Selain itu, harmonisasi dengan standar internasional diperlukan untuk mendukung transisi di tingkat global dan memastikan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.