Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDETIK setelah menjadi Presiden Indonesia 2024-2029 pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto segera menerima warisan utang negara superbesar. Menurut Kementerian Keuangan, hingga April lalu, utang pemerintah tembus Rp 8.338,43 triliun. Pada tahun pertama pemerintahannya, Prabowo mesti memikirkan utang jatuh tempo Rp 800 triliun yang berasal dari obligasi dan pinjaman pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka-angka gigantik itu merupakan warisan Presiden Joko Widodo selama sepuluh tahun memerintah. Akibatnya, ruang fiskal Prabowo untuk bermanuver memenuhi janji-janjinya saat kampanye pemilihan presiden menyempit. Janji makan siang gratis—kemudian diubah menjadi makan bergizi gratis—untuk anak-anak yang memerlukan anggaran Rp 400 triliun setahun bisa menjadi hanya cerita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi 90 persen utang pemerintah berbentuk Surat Berharga Negara (SBN). Jika investor melepasnya karena hilang kepercayaan kepada manajemen anggaran pemerintah, rupiah akan makin terpuruk. Reaksi pasar obligasi ini bisa merembet ke pasar keuangan. Ketika anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyoal besarnya utang pemerintah dua pekan lalu, rupiah melemah hingga 16.300 per dolar Amerika Serikat.
Dengan kata lain, teknik biasa dalam manajemen keuangan menutup utang dengan utang baru tidak bisa menjadi pilihan bagi pemerintahan baru kelak. Pemerintahan Prabowo Subianto akan makin terjepit karena ruang mencari tambahan penerimaan pun tak bisa mengandalkan utang baru dengan mengobral obligasi. Ketika investor tahu pemerintah sedang kepepet mencari dana segar lewat utang, mereka akan menuntut imbal hasil (yield) lebih tinggi.
Kepada DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memang mengatakan utang negara masih dalam mode aman. Tapi ia memberikan beberapa catatan bahwa utang itu masih terkendali: manajemen negara kredibel, persepsi publik serta investor terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) positif, serta kebijakan fiskal ekonomi dan politik stabil. Walhasil, Prabowo Subianto tak punya pilihan selain menerapkan disiplin fiskal agar publik tak menyangsikan kemampuan manajemen utang pemerintah.
Masalahnya, besarnya utang pemerintah itu pasti mempengaruhi persepsi investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Pemerintahan yang baru di bawah Prabowo Subianto harus bekerja keras mempertahankan kepercayaan mereka dengan menunjukkan komitmen terhadap manajemen utang yang prudent seraya menjaga stabilitas ekonomi.
Persoalan lain adalah manajemen APBN. Sumber pembayaran utang pemerintah tahun depan berasal dari 40 persen anggaran negara. Sekitar 60 persen APBN sudah teralokasikan untuk belanja rutin dan kegiatan operasional pemerintahan. Jika Prabowo ugal-ugalan membuat program yang menyedot anggaran besar, investor akan ragu pemerintahan baru bisa mempertahankan kesehatan fiskalnya.
Melanjutkan proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang membutuhkan dana hampir Rp 500 triliun jelas bukan pilihan bagi Prabowo. Ia tak bisa terus meladeni hasrat Jokowi yang ingin meninggalkan warisan besar lewat pembangunan IKN. Prabowo mesti segera bersikap apakah ia akan melanjutkan IKN atau menghentikannya sejenak setelah berkuasa penuh sebagai presiden.
Strategi menggenjot pendapatan negara melalui pajak juga tak lagi leluasa. Menaikkan tarif atau menambah jenis pajak atau pungutan baru hanya membuat kepercayaan publik rontok. Rencana pemerintah memungut 3 persen gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) saja mendorong penolakan masyarakat yang masif.
Semua kenyataan pahit itu harus ditelan Prabowo mentah-mentah. Ongkos kenikmatan terpilih menjadi presiden berkat sokongan kekuasaan melalui tangan Jokowi menempatkan Prabowo harus menerima konsekuensi bersekutu dengannya: menerima anaknya sebagai wakil plus segala mismanajemen ekonomi yang diwariskannya.