Budiman Sudjatmiko adalah seorang korban. Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini, bersama sejumlah kawannya, mendekam di penjara karena kesalahan yang tak jelas. Kini usianya 28 tahun. Ia dihukum 13 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin Syoffinan Sumantri, 28 April 1997. Tapi siapa yang mengikuti kasus ini akan segera tahu bahwa Hakim Sumantri memanggungkan sebuah peradilan pura-pura. Dia akan menghukum Budiman biarpun orang ini tak bersalah, karena itulah kehendak yang berkuasa.
Kenapa anak muda ini harus dibungkam? Ketika pemerintahan Soeharto melarang berdirinya partai politik selain yang direstuinya, anak-anak muda lainnya mendeklarasikan berdirinya PRD, 22 Juli 1996. Dari bahasa dan lambang-lambang (sapu tangan merah di leher), dari asasnya yang "sosialis demokratik", semangat PRD memang "kiri". Kata "kiri" pada masa itu (dan juga masa kini) masih menimbulkan rasa ngeri, dan PRD langsung dituduh "komunis". Ini salah satu contoh bagaimana yang berkuasa tetap takut, atau pura-pura takut, kepada sebuah ideologi yang beku—lebih dari seperempat abad setelah PKI hancur, dan hampir satu dasawarsa komunisme menjadi barang bekas di Kremlin. Yang berkuasa, dengan berpegang pada peta politik lama, tak bisa memahami apa yang diyakini anak-anak muda dalam PRD.
PRD memang tampak hendak menunjukkan keberanian menentang yang berkuasa, dan motif ini agaknya jauh lebih kuat ketimbang keyakinan kepada sebuah ideologi. Rezim Orde Baru sudah mencanangkan ketentuan, semua organisasi (baik politik, keagamaan, maupun sosial) yang tidak mencantumkan asas Pancasila layak diganjar hukuman berat karena menentang undang-undang. Bisa disejajarkan dengan tuduhan subversif. Karena itulah, jaksa penuntut umum meminta agar Budiman dihukum 15 tahun penjara.
Sebuah omong kosong, tentu saja. Aktivis PRD itu mula-mula ditangkap dengan dalih terlibat dalam kerusuhan di jalan setelah penyerbuan kantor pusat PDI, 27 Juli 1996. Tuduhan itu tak terbukti selama pemeriksaan. Juga tak ada bukti bahwa PRD "komunis". Partai ini tak pernah menyebut perlunya "diktator proletariat".
Tapi kini perubahan tampak terjadi. PRD pun sudah dinyatakan berhak ikut pemilu, sah memiliki paling tidak sembilan cabang di berbagai wilayah. Maka sudah saatnya Budiman, si ketua, dibebaskan. Dalam hal ini Menteri Muladi -- yang telah banyak berusaha -- memang layak dihargai. Muladi pula yang berusaha membereskan kasus Dita Sari. Ativis PRD yang dihukum 6 tahun dan kini mendekam di penjara Tangerang. Ia dituduh menggerakkan aksi buruh di Tandes, Surabaya. Sebuah "kesalahan" yang aneh. Dita juga harus bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini