DARI jumlah korban yang mati dan hilang, bencana Tampomas II
merupakan bencana laut terburuk di dunia selama 10 tahun
terakhir ini. Menurut perhitungan yang berhati-hati, lebih 500
penumpang sampai awal pekan ini tidak diketemukan hidup.
Kecelakaan lain yang bisa merupakan tandingan besarnya adalah
tabrakan dua kapal di Sungai Hsi, Cina, awal Agustus 1975. Dalam
musibah sungai ini, 500 orang diperkirakan tewas. Korban yang
agak besar lain terjadi ketika malapetaka menimpa sebuah kapal
perusak Soviet, September 1974: kapal yang membawa peluru
kendali itu meletus, dan menyeret korban sebanyak 350 nyawa. Ia
tenggelam di Laut Baltik.
Tapi dibanding dengan bencana laut yang dicatat di dunia sejak
awal abad Ini, malapetaka Tampomas II relatif masih kecil.
Menurut almanak 1980 yang diterbitkan majalah Amerika Reader's
Digest, di pertengahan 1904 kapal General Slocum terbakar di
East River, kota New York. Ada 1.000 orang mati hangus. April
1912, sebuah kapal termasyhur yang baru dibuat (dan dianggap tak
akan bisa tenggelam), ternyata rontok ketabrak gunung es di
Atlantik Utara: Titanic menenggelamkan 1.500 orang.
Tahun 1912 mungkin tahun jelek bagi pelayaran. Lima bulan
setelah Titanic tenggelam, sebuah kapal Jepang, Kichemaru juga
tenggelam di lepas pantai Jepang. Ada 1.000 orang tewas.
Kecelakaan besar berikutnya: di tahun 1914 Empress of Ireland
milik Kanada menabrak sebuah kapal Norwegia di Sungai St.
Lawrence, dengan kematian 1.024 jiwa. Di tahun 1916, Kapal Hsin
Yu tenggelam di lepas pantai Cina, dengan korban 1.000 orang.
Sejak itu, sampai dengan tahun 1954, sedikitnya ada 4 kali kapal
tenggelam yang tiap kali membunuh sekitar 1.000 manusia.
Tapi di tahun 1916 itu ada sebuah bencana yang tak disebut oleh
almanak Reader's Digest. Bencana itu tercantum dalam almanak
majalah Time 1980 dan The World Almanac 1980. Yakni tenggelamnya
kapal penjelajah Prancis Provence di Laut Tengah bulan Februari.
Korbannya tak tanggung-tanggung: 3.100 orang.
Namun korban terbesar yang tercatat dalam sejarah malapetaka
laut sejak perengahan abad 19 diakibatkan oleh perang. Kapal
Wilhelm Gustloff, ketika di Laut Baltik, ditembak torpedo Rusia,
Januari 1945. Sebanyak 6.100 orang tewas.
Apakah arti angka-angka ini -- selain sebagai rekor kesedihan?
Bagi ibu yang memeluk anaknya di dek Tampomas II, ibu yang
terbaring hangus bersama bocah kecil tiga tahun itu, angka-angka
itu berbicara dengan jangat yang terbakar. Ada napas yang
dicekik asap, ada paru yang dirobek air laut. Mereka telah
memberikan suaranya dengan ajal, dalam suatu pemungutan pendapat
untuk perlindungan penumpang di masa depan.
Itulah akhirnya cara mereka. Sebab ada yang memberikan suaranya
dengan cara lain. Di sebuah hari Sabtu bulan September 1980, di
Teluk Alaska yang dingin, kapal pesiar termasyhur Prinsendam
terkena api. Hotel mewah yang berlayar dengan berat 8.655 ton
itu beruntung mempunyai sistem pendeteksi asap, sejumlah lonceng
dan peluit untuk menyiagakan penumpang bila bahaya tiba. Dalam
umurnya yang 7 tahun, Prinsendam memang tak punya sistem
penyemprot, tapi Holland America Lines, yang mengoperasikan
kapal foya-foya itu tahu bahwa para penumpangnya -- tentu saja
kaum milyuner yang berlibur -- telah mempercayakan diri mereka
dengan bayaran tinggi.
Maka ketika api tercium dan SOS dikumandangkan, suatu usaha
penyelamatan cepat dilakukan. Wartawan New York Times menulis,
bahwa usaha ini mungkin "yang terbesar dalam sejarah modern yang
pernah dilakukan terhadap sebuah kapal". Pengawal pantai Amerika
mengirimkan pesawat C-130, dan sejumlah helikopter, kapal
tambahan, di samping munculnya kapal tangki raksasa
Williamsburgh. Pada akhirnya, seluruh 506 penumpang dapat
selamat. Cuma satu yang luka, itu pun luka ringan.
Orang-orang kaya memang bisa berbicara lebih efektif -- dengan
apa yang disebut 'the dollar votes". Di Kapal Tampomas II, awal
kapal, penumpang gelap, anak-anak kecil yang tak berpesiar, tak
memiliki itu. Tapi jumlah besar mereka yang direnggutkan dari
hidup barangkali bisa jadi suara keras. Bertalu-talu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini