Perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
.............
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melibat tingkah kita
Yang selalu salah dan
Bangga dengan dosa-dosa
...............
BELUM lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai
dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM Tampomas II
panik. "Api!, api!," pekik mereka. Dan asap tebal dari bagian
belakang kapal milik PT Pelni itu mengurung mereka.
Itu terjadi sekitar pukul 22.15 hari Minggu 25 Januari. Kecuali
yang tinggal di restauran dan asyik mendengarkan band serta
suara Ida itu, sebagian besar penumpang baru saja memasuki kamar
masing-masing. Tapi segera mereka menghambur ke luar.
Dari pengeras suara, terdengar perintah untuk menggunakan
pelampung. Para penumpang di dek, hiruk-pikuk berebut alat
berwarna kuning itu. Belum lagi sejam berdiri di anjungan, kaki
sudah tak kuat merasakan panas. Api di dek bawah rupanya sudah
menyundulkan sengatnya. Para penumpang kembali berebut
potongan-potongan kayu untuk alas kaki mereka.
Siapa orang pertama yang melihat kebakaran itu masih belum
diketahui. Yang jelas, dia adalah awak kapal yang malam itu
bertugas di bagian mesin.
"Saya terima laporan pertama dari dia," ujar Hadi Wiyono,
masinis III yang malam itu berada di posnya, di anjungan,
sebagai perwira piket.
Laporan itu disampaikan lewat interkom, alat penghubung dari
ruangan ke ruangan. "Ada kebakaran di car deck (dek tempat
mobil)," bunyi laporan tadi seperti ditirukan Hadi pada TEMPO.
Hadi ganti meneruskan laporan itu ke nakoda, Kapten Abdul Rivai.
Sebagai "penguasa tunggal" di kapal berbobot mati 6.139 BRT itu,
Rivai memerintahkan agar api disemprot dengan alat pemadam
kebakaran yang ada.
"Tapi karena sudah penuh asap, saya menyemprot sekenanya saja,"
ujar Sudibyo, perwira di bagian listrik. "Dan karena mata sudah
tidak kuat lagi saya menyelamatkan diri. Sebenarnya belum semua
isi tabung habis," katanya lagi.
Tampomas II toh masih terus berjalan, dengan kecepatan 15 knot
atau sekitar 25 km/jam. Untuk menghindari kebakaran menjalar ke
mesin, Rivai memerintahkan agar mesin dimatikan. Tapi lantaran
semua penerangan ikut padam penumpang bertambah panik. "Ada
beberapa orang yang langsung terjun ke laut," ujar Kasim,
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA)
Ujungpandang yang baru saja menghadiri Porseni dan Wisuda
sarjana STIA se-Indonesia di Jakarta dengan 80 orang anggota
rombongan, termasuk istri para sarjana baru.
"Yang terjun malam itulah yang banyak meninggal," kata Kasim
pula. Ia menyebut sebagian besar grup penari dalam rombongan
STIA yang terjun malam itu tidak tertolong lagi.
Setelah menerima laporan bahwa kebakaran tidak bisa dipadamkan,
Rivai memerintahkan untuk menghidupkan mesin. "Rivai bermaksud
membawa Tampomas II ke pulau terdekat," ujar sumber TEMPO di
Ditjen Perhubungan Laut, mengutip hasil pemeriksaan oleh suatu
tim resmi atas ABK yang selamat. Mesin hidup, tapi cuma
sebentar, karena terjadi ledakan di dek mobil.
Hadi Wiyono memperkirakan sekitar 20-an awak kapal meninggal
karena terkurung di dalam ruang mesin. Dari sinilah kemudian
beredar kabar terjadinya konflik antara Rivai dengan markonis,
perwira yang bertugas di bagian komunikasi.
Markonis Odang Kusdinar, kabarnya sudah minta izin kepada Rivai
untuk segera mengirim berita SOS ketika laporan kebakaran
diterima dari perwira piket. Tapi Rivai konon memilih lebih baik
tak mengirimkan sinyal SOS dulu -- yang memang tak dapat
dilakukan sembarangan, karena akan merepotkan kapal di seluruh
dunia. Yang perlu, api dihabisi segera. Tapi upaya memadamkan
api ternyata tidak berhasil. Satu-satunya jalan yang tinggal
mengirimkan berita kebakaran itu ke radio pantai.
Tapi sudah terlambat. Alat komunikasi yang ada tidak bisa
digunakan lagi. Dan Odang sendiri, entah kenapa, sewaktu dicari
sudah tidak ada di kapal. (lihat box).
Rivai, sebagaimana dikatakan Hadi Wiyono, kemudian mengambil
"bola api" sebagai jalan terakhir untuk memberitahukan bahwa di
situ ada kapal dalam keadaan bahaya. "Bola" itu sebesar bola
tennis. Kalau dilemparkan ke atas, akan meledak dan menimbulkan
cahaya ultra violet yang tajam -- sebagai tanda SOS. "Anehnya
bola api itu tidak meledak di udara," ujar Hadi Wiyono pasti.
Lantaran bagian tengah kapal semakin panas, para penumpang
berlomba mencapai tempat paling tinggi di anjungan atau haluan.
Seorang penumpang, pemuda keturunan Arab bernama Nur Abdullah,
kemudian berteriak dari haluan agar ada di antara yang di
anjungan -- tempat paling tinggi -- mengumandangkan adzan.
Maksudnya untuk meredakan angin dan gelombang, sebagaimana biasa
dilakukan nelayan Bugis. "Tapi terdengar justru takbir
beramai-ramai, sehingga mirip malam lebaran," keluh Nur
Abdullah.
Sepanjang malam pertama itu mereka tidak bisa melihat apa-apa
lagi. Kecuali gelap dan asap.
FAJAR hari Senin telah menyingsing. Seluruh cakrawala kelihatan
tcrang. Kapal KM Sangihe terus melaju dengan kecepatan 10 knot
dari arah Ujungpandang ke Surabaya. Sebagaimana biasa, begitu
fajar datang pertama-tama yang harus dilakukan mualim kapal
adalah melihat sekeliling cakrawala dengan teropong. Dan pagi
itu Mualim I Sangihe, J. Bilalu, melihat ada asap mengepul di
arah barat. "Kap!", Bilalu memanggil Agus K. Sumirat, Kapten
Kapal Sangihe, "boleh juga tuh Pertamina. Dia bisa dapatkan
sumur minyak baru lagi," kata Bilalu sambil menuding asap yang
dia lihat. Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB.
Karena di seluruh cakrawala tidak ada pemandangan lain,
sebentar-sebentar mata Kapten Sumirat melihat ke sana -- yang
kebetulan memang berada di arah yang akan dilewati.
Satu jam kemudian Bilalu kembali meneropong asap yang sudah kian
mendekat. "Kap!. Asap itu dari kapal. Bukan pengeboran minyak
Pertamina," pekik mualim itu. "Kita menuju ke sana," sahut
Kapten Sumirat.
Pagi itu udara cukup cerah untuk ukuran Januari yang biasanya
selalu berkabut tebal. Sangihe terus melaju untuk melihat kapal
apa yang mengeluarkan asap itu. Tepat pukul 07.35, Bilalu bisa
membaca tulisan di kapal itu meskipun belum jelas benar Tampomas
II.
Para penumpang Tampomas II juga sudah melihat kedatangan
Sangihe. Hadi Wiyono segera mencari cermin di kamar penumpang
untuk di-"soklehkan" ke arah Sangihe datang.
Saat itu juga Markonis Sangihe, Abubakar, diperintahkan untuk
memberitahu Radio Pantai mana saja yang bisa dihubungi. Abubakar
memutar-mutar saluran radio di ruang Markonis yang berdampingan
dengan ruang kemudi itu. "Tiga menit kemudian saya bisa
berhubungan dengan Radio Jakarta, memberitahukan bahwa KM
Tampomas II terbakar," ujar Abubakar.
Memang hanya itu yang bisa diberitahukan. Sangihe sendiri masih
belum pasti, apakah Tampomas II perlu pertolongan darurat. Hanya
Sangihe terus mendekat dan Kapten Sumirat mengumpulkan awak
kapal untuk bersiap-siap melakukan pertolongan.
Tapi begitu jarak tinggal dua kilometcr, Sumirat melihat para
penumpang sudah berada di atas kapal. "Kirim SOS", perintah
Sumirat pada Abubakar, lewat lubang kecil yang menghubungkan
ruang markonis dengan ruang kemudi. "Pukul 08.15 persis saya
kirim SOS dengan morse," ujar Abubakar. Dengan demikian
diharapkan seluruh kapal dan stasiun pantai menangkap sinyal SOS
dari Sangihe itu.
Sangihe terus mendekat, pelan-pelan Dilihat oleh Sumirat,
Tampomas sudah buang jangkar. Berarti Sangihe bisa lebih dekat
lagi tanpa takut terjadi tabrakan "Saya kelilingi dulu Tampomas
untuk melihat dari arah mana bisa mendekat," ujar Sumirat.
"Untuk tender (merapat) dari lambung kanan jelas tidak bisa,
karena asap mengarah ke kanan. Tapi mau fender di lambung kiri
juga susah, karena ada tali jangkar yang kalau tertabrak bisa
putus dan berbahaya," tambahnya.
Ada kesulitan lain yang lebih menghambat lagi. KM Sangihe
sendiri sebenarnya dalam keadaan sakit. "Kalau kapal ini normal,
kami tidak akan lewat sini," ujar Sumirat.
Sangihe mestinya harus membawa 900 ekor sapi dari Pare-Pare ke
Padang. Tapi karena mesin rusak, ia nongkrong dulu di Pare-Pare
sampai 6 hari. Akhirnya bisa juga jalan -- tapi Sumirat minta
agar kapal itu dibawa dulu ke Surabaya untuk dinaikkan dok.
"Itulah sebabnya saya tidak berani ambil jalan lurus
ParePare-Surabaya, tapi menyusuri dulu pantai Sulawesi. Kalau
saya ambil jalan lurus tidak akan ketemu Tampomas," kata
Sumirat.
Itu bukan kerusakan satu-satunya. KM Sangihe sebenarnya punya 3
mesin pembangkit listrik -- tapi tinggal sebuah yang masih
hidup. "Akibatnya saya tidak bisa melakukan manouver (olah
gerak)," ujar Sumirat. "Kalau tidak bisa melakukan olah gerak,
bagaimana bisa tender, " katanya pula.
Sumirat, 46 tahun, sebenarnya sudah tiga kali berpengalaman
melakukan tender di tengah laut. "Tapi kali ini benar-benar
tidak bisa," katanya. "Kapten Rivai, Nakoda Tampomas, adalah
teman sekelas saya, di AIP. Bayangkan bagaimana perasaan saya
setelah tidak berhasil merapat di kapalnya."
Setelah tidak mungkin melakukan tender di lambung kanan dan
kiri, Sumirat memutuskan untuk "parkir" di depan Tampomas dengan
harapan bisa mendekat dari arah depan. Ketika jarak tinggal 300
meter lagi, Sumirat memerintahkan buang jangkar sepanjang 6
segel (142 meter).
Dengan demikian jarak kedua kapal itu tinggal sekitar 150 meter.
Sumirat sekali lagi memerintahkan untuk melepaskan dua segel
lagi, sehingga jarak keduanya tinggal sekitar 100 meter.
Seorang ABK (Anak Buah Kapal) Sangihe mencoba melemparkan tali
ke Tampomas. Tapi tak sampai. ABK yang lain kemudian mengambil
pistol khusus yang dipakai untuk menembakkan tali "Tapi sungguh
aneh, pistol itu mejen," ujar Husin Hamzah, ABK Sangihe asal
Gombong.
Sementara itu dari arah Tampomas, sudah ada tali yang hanyut.
Seorang ABK Sangihe kemudian melemparkan tali ke arah tali
yang hanyut tadi berhasil menyangkut. Tali Tampomas itu ditarik
pelan-pelan, kemudian diikatkan di KM Sangihe. Jarak antara
kedua kapal bisa lebih diperpendek lagi. Tapi tali itu terancam
putus kalau terus ditarik, sementara semakin siang gelombang
semakin besar.
Karena itu, Sumirat menghendaki ada dua tali. "Siapa yang berani
membawa tali ini ke sana?" ujar Sumirat. Seorang pemuda yang
menumpang Kapal Sangihe tiba-tiba maju, menyediakan dirinya.
"Saya tidak tahan lagi mendengar jeritan mereka," ujar Youce
Freddy, 20 tahun, pemuda asal Manado yang akan cari kerja di
Jakarta.
Penumpang yang sudah berkumpul di haluan Tampomas kedengaran
riuh sekali, memang. "Panas!, Panas! Neraka!, .... Cepat kirim
air!", teriak mereka bersahut-sahutan. Sebagian tidak sabar lagi
lantas menerjunkan diri ke laut --hanyut ke arah Sangihe.
Persiapan mengirim Youce segera dilakukan. Tali yang akan dibawa
Youce diikatkan di pinggangnya, agar kalau ia terjatuh bisa
ditarik kembali. Waktu itu sudah pukul 12.00 siang. Youce mulai
merambat sambil bergantung di tali pertama.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya, pemuda itu
maju pelan-pelan pada tambang. Selamat! Youce sampai di Tampomas
II. Langsung ia mengikatkan tali itu. Tapi ia kaget. "Saya
terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas saya lihat sekitar
20-an mayat berserakan di geladak," katanya.
Mayat itu sudah berwarna hitam. Di antaranya seorang wanita
tetap dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3
tahun.
Tali yang dibawanya tadi sudah terikat di Tampomas. Tapi malang,
belum selesai ditarik kencang, tali pertama sudah putus.
Akibatnya Sangihe hanyut, lalu membentur Tampomas. Tali kedua
pun putus. Semakin siang gelombang memang semakin besar,
sehingga Sangihe terhempas menjauh dari Tampomas.
Sementara hubungan tali tadi diusahakan, dua buah sekoci
diturunkan. Sebenarnya ada empat sekoci di Sangihc. Tapi hanya
satu mesin listrik yang hidup yang hanya cukup untuk menurunkan
dua sekoci. Itupun yang satu putus dan hanyut.
Satunya lagi langsung diserbu oleh penumpang yang terjun dari
Tampomas. Ada 8 awak kapal Sangihe yang diturunkan dalam sekoci
itu untuk membantu para korban naik ke sekoci. Setelah penuh,
sekoci ditarik dan para korban dinaikkan ke Sangihe.
Sekoci itu pun sekali lagi diluncurkan dan sebentar saja juga
sudah penuh pula ada 158 orang yang akhirnya diselamatkan KM
Sangihe sepanjang hari Senin itu. Semuanya dalam keadaan sehat
-- kecuali luka bakar di kaki mereka.
Upaya untuk mendekat Tampomas lagi sudah tak mungkin. Gelombang
semakin besar. Tali temali juga sudah habis. Sangihe kini hanya
"menghadang" saja korban yang hanyut ke arah kapal itu. Di
lampung kiri Sangihe memang ada tangga yang terus terpasang.
Tiga orang awak kapal menggelantung di tangga itu sambil menyaut
korban yang hanyut di dekatnya.
Sampai Senin sore itu, belum ada kapal lain yang datang. Tapi
beberapa kapal diberitakan sedang menuju tempat itu. Markonis
Abubakar sepanjang hari itu tidak henti-hentinya
berteriak-teriak di kamarnya. Ia melayani pertanyaanpertanyaan
dari berbagai instansi.
"Mestinya kami kan cukup menjawab salah satu instansi saja,
lantas yang lain menanyakan ke instansi tadi," tutur Abubakar.
Suaranya sudah hampir tidak kedengaran karena 24 jam secara
nonstop berteriak. "Sampai-sampai sebuah radio kami sekarang
rusak" tambahnya.
Sumirat, Kapten kapal yang berwajah seperti bintang film Koesno
Soedjarwadi itu hanya menunduk sedih, ketika ditanya bagaimana
pendapatnya tentang kecaman para penumpang Tampomas yang
menggambarkan seolah-olah Sangihe penakut. "Apa pun pendapat
orang, akan saya terima dengan lapang dada. Saya memahami
perasaan mereka, yang sudah begitu dekat dengan Sangihe, tapi
tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Sumirat.
Mereka tak bisa berbuat-apa-apa -- termasuk melawan haus dan
panas.
Sepanjang Senin itu, tidak ada hujan di sekitar Tampomas. Pernah
sekitar pukul 15.00 ada satu dua titik air dari langit, tapi
tidak sampai membasahi mereka. "Kalau ada hujan tentu mereka
tertolong sekali. Ketika ada gerimis saja mereka pada
menengadahkan wajahnya ke langit supaya bisa basah," ujar
seorang pelaut yang menyaksikan detik-detik itu.
Tapi setelah lepas tengah hari, mendung dan kabut memang semakin
tebal. Dan ketika senja telah tiba, Sangihe menjauh dari
Tampomas sampai sekitar 1.300 meter, diikuti sumpah serapah
penumpang yang masih penasaran di Tampomas. "Semata-mata
lantaran khawatir, kalau terjadi benturan di waktu malam,"
bantah Sumirat.
Malam itu KM Ilmamui, juga milik Pelni, yang baru datang pada
pukul 21.00, langsung parkir sekitar 2 km dari Tampomas.
Ilmamuilah yang meneruskan pemberitahuan SOS dari Sangihe
keberbagai stasiun radio pantai.
Empat jam kemudian, pukul 01.00 dini hari, Selasa 27 Januari,
datang lagi kapal tangker Istana VI. Istana juga langsung parkir
di sebelah Ilmamui. Dua kapal lagi malam itu datang di
Masalembo: Adhiguna Karunia dan Senata. Semuanya langsung lego
jangkar, menbentuk barisan sekitar dua kilometer dari
Tampomas.
Keesokan harinya mereka bergerak maju. Istana VI, karena penuh
muatan minyak, punya kelebihan sebagai penolong: memudahkan para
korban naik ke kapal itu lantaran dindingnya rendah. Ada 144
orang yang diselamatkan Istana VI di samping 4 jenasah.
Kapal yang paling banyak menyelamatkan para korban adalah KM
Sengata, milik PT Porodisa Lines. Kapal khusus pengangkut kayu
bulat dari Kalimantan ke Taiwan atau Jepang ini memang punya
perlengkapan khusus, berupa jaring yang bisa dipasang di
sepanjang lambung kanan dan kiri. Banyak korban yang selamat
karena cepat meraih jaring itu, kemudian memanjat naik. Akhirnya
tercatat 169 korban yang tertolong di sini, plus dua mayat.
Para korban juga banyak memuji Sengata, karena keberaniannya
mendekat Tampomas. Kapal ini sempat beberapa detik merapat di
Tampomas dan 6 orang memanfaatkannya. "Begitu dekat saya loncat"
ujar Sudibyo, 38 tahun, perwira listrik Tampomas II yang bisa
mermantaatkan kesempatan emas itu.
Sampai pukul 12.00 hari itu juga tidak ada turun hujan. Tapi
kabut dan angin terus menjadi hambatan. Pukul 12.30, tiba-tiba
ada ledakan di bagian belakang dan Tampomas II mulai miring. Di
bagian belakang kapal ini ada 12 tabung besar berisi Elpiji yang
biasa dipakai untuk dapur. Tampomas II memang satu-satunya kapal
di Indonesia yang menggunakan Elpiji. "Begitu miring banyak
penumpang longsor bertindihan," ujar Youce yang terus berada di
Tampomas II sampai saat terakhir. Youce kemudian berenang menuju
Sengata.
Hanya 20 menit kemudian Tampomas II tenggelam, mulai dari
pantatnya. Tapi tenggelamnya haluan kapal itu tidak kelihatan
dari kapal lain, karena cuaca diguyur hujan lebat sekali. Saat
itu ada pertanyaan masuk ruang markonis menanyakan bagaimana
posisi Tampomas. "Dijawab bagaimana, kap" tanya Abubakar.
"Karena tidak kelihatan, saya suruh jawab saja: sedang menuju ke
dasar laut," ujar Sumirat.
Begitu hujan reda, Tampomas II memang sudah tidak kelihatan.
"Anehnya keadaan cuaca berubah jadi cerah sekali," ujar Sumirat.
Tinggal di sana sini tampak orang terhanyut -- sisa-sisa sebuah
perjalanan yang sangat menyedihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini