Reformasi mengobarkan semangat mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme, enam tahun silam. Penegakan supremasi hukum pun digadang-gadang sebagai cara untuk mencapai tujuan mulia ini. Namun kenyataannya, sampai sekarang, tak sampai hitungan jari jumlah pelaku korupsi yang ada di penjara, kendati Indonesia setiap tahun terus-menerus menduduki peringkat lima besar sebagai negara paling korup di dunia. Maka wajar—dan sekaligus sungguh ironis—jika kini pengadilan malah terkesan menjadi pelindung para pencuri uang rakyat. Bahkan sekaligus sebagai penghukum pihak-pihak yang berupaya memerangi penyakit korupsi.
Kesan itu setidaknya diperkuat oleh keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis dua pekan silam. Majalah Trust, yang mengungkap kasus pembobolan Rp 1,7 triliun di Bank BNI, dihukum membayar ganti rugi Rp1 miliar dan memasang iklan minta maaf kepada penggugat, John Hamenda. Padahal pemilik Grup Petindo ini sedang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sebagai salah seorang tersangka kasus pembobolan bank milik pemerintah itu. Ia dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2000 tentang tindak pidana korupsi, dengan ancaman hukuman 20 tahun, dan subsider Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2002, UU No. 25 Tahun 2003 tentang pencucian uang, dengan ancaman hukuman 15 tahun kurungan penjara.
Ini jelas sebuah keputusan yang melanggar rasa keadilan masyarakat. Apalagi dalam pertimbangannya majelis hakim yang dipimpin Cicut Soetiarso itu menilai Trust tidak akurat dan tidak patut dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Penilaian yang bertentangan dengan keterangan saksi ahli dari Dewan Pers di persidangan, yang menyatakan penulisan berita di majalah mingguan keuangan dan hukum itu telah memenuhi kaidah jurnalistik yang berlaku. Dan, menurut UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, hanya Dewan Pers yang mempunyai wewenang resmi dalam menilai kepatuhan media pers terhadap kaidah jurnalistik di Indonesia.
Pertimbangan lain yang mengundang pertanyaan adalah kesimpulan majelis hakim bahwa fotokopi dokumen internal audit BNI yang menjadi sumber berita ”itu tidak sah sebagai informasi yang akurat dan benar”. Padahal di persidangan pun kuasa hukum BNI tak pernah mempermasalahkan akurasi informasi dokumen tersebut. Dan hak rakyat untuk mendapatkan, memiliki, serta menyebarluaskan informasi dijamin dalam Pasal 28 F UUD 45 dan telah dipertegas oleh UU Pers.
Semua ”keanehan” di atas menyimpulkan telah terjadi kesalahan penerapan hukum dalam ”vonis” majelis hakim terhadap Trust. Itu sebabnya keputusan ini tak hanya perlu dibanding, namun juga dilaporkan ke Mahkamah Agung, agar benteng terakhir hukum itu menurunkan tim pemeriksa. Tim ini diharapkan mampu menguak latar belakang segala penyimpangan itu dan melakukan tindakan koreksi yang diperlukan. Sebab, tanpa koreksi, pengadilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan malah akan menjadi benteng perlindungan para koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini