Teriakan histeris, sorak-sorai, dan tepuk tangan sudah hilang dari Istora Senayan pada pekan ini. Ajang bergengsi perebutan Piala Thomas dan Uber sudah selesai. Hasilnya pun sudah diketahui bersama, pemain bulu tangkis kita bertumbangan, kedua piala bergengsi itu lepas sudah.
Pada masa lalu, kitalah jago di olahraga ini. Pemain dari negara lain sudah keder duluan begitu menghadapi pemain Indonesia. Nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Christian dan pasangannya Ade Chandra, sudah menjadi legenda. Apalagi Rudy Hartono delapan kali menjuarai All England, pesta olahraga bulu tangkis perorangan. Di bagian putri, meski tidak ?bersejarah? seperti pemain prianya, kita punya Susi Susanti, Ivana Lie, yang sudah malang-melintang di berbagai belahan dunia. Susi, misalnya, sampai terpilih membawa obor api Olimpiade Athena mendatang, karena namanya sudah terukir sebagai atlet internasional.
Kenapa sekarang kita terpuruk? Jawaban paling mudah untuk disebutkan adalah kita tidak mampu membuat kaderisasi sebagaimana di Cina, misalnya. Di Negeri Tirai Bambu ini kaderisasi atletnya begitu mengalir. Setiap ada pertandingan internasional, kita hampir selalu melihat tampilnya pemain baru. Dan pemain baru ini bukan sekadar cari pengalaman, tetapi langsung membuat gebrakan.
Kalau pertanyaan kita berlanjut, kenapa kaderisasi kurang, salah satu jawabannya adalah merosotnya pembinaan di sejumlah grup. Grup bulu tangkis yang selama ini disponsori perusahaan swasta bagaikan ?hidup segan mati tak mau?. Mereka masih terdaftar, masih punya kegiatan, tetapi terkesan hanya asal-asalan. Bukan prestasi lagi yang mereka lahirkan, melainkan sekadar mempertahankan nama grup. Tampaknya ini berkaitan pula dengan krisis ekonomi, yang membuat perusahaan swasta harus menghitung anggarannya untuk kegiatan yang bersifat sosial, seperti membantu perkembangan olahraga.
Merosotnya pembinaan itu bisa kita lihat dengan kasat mata pada sepinya turnamen antargrup. Dan ini tidak cuma di bulu tangkis, di berbagai cabang olahraga lain, turnamen antargrup sudah mati suri. Barangkali hanya sepak bola yang masih tiap tahun bergulir dengan liga sepak bola yang disponsori bank pemerintah. Itu pun seperti tidak ada hasilnya dalam hal peningkatan mutu pemain.
Sementara itu, pemusatan latihan nasional (pelatnas), yang diselenggarakan pemerintah lewat cabang olahraga yang bernaung di KONI, juga berkurang drastis. Pelatnas sering hanya diadakan menjelang ada pertandingan internasional. Alasan klasik adalah kurangnya dana. Dengan demikian persoalannya sebenarnya sudah mengerucut ke atas, yakni merosotnya mutu atlet kita tak lepas dari krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Tak ada ?uang lebih? untuk disalurkan ke bidang olahraga, yang masih berstatus ?kegiatan sosial?.
Bagaimana kita mencari jalan di masa depan, agar kegiatan olahraga selalu bergairah meskipun krisis?baik ekonomi maupun politik?tetap melanda negeri ini? Mungkin urusan olahraga ini lebih banyak diserahkan ke masyarakat. Pemerintah cukup memberikan dorongan dan perangsang, misalnya dengan membangun sarana olahraga yang diperlukan. Yang terjadi sekarang ini, pemerintah justru menyerobot lahan-lahan olahraga rakyat. Lapangan sepak bola berubah menjadi mal dan pusat pertokoan, dan ini tidak hanya di kota besar, tetapi sampai ke kota kecamatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini