Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA Gubernur Jakarta dengan prestasi paling bagus: Ali Sadikin atau Sutiyoso? Empat puluh orang yang tinggal di Jakarta-terdiri dari pegawai negeri, swasta, wartawan, mahasiswa, polisi, politisi, pengacara, budayawan, aktivis hak asasi, pengusaha, peneliti, bankir, ibu rumah tangga-ketika ditanya melalui pesan pendek (sandek) punya jawaban hampir seragam.
Sebanyak 77 persen jawaban yakin Ali Sadikin lebih tinggi prestasinya, 10 persen memastikan Sutiyoso lebih baik, dan 13 persen bilang keduanya punya prestasi sama pada masa kepemimpinannya. Dari pendukung Ali Sadikin, ada tiga suara yang memberikan nilai 10. Seorang pendukung Sutiyoso memberikan nilai tertinggi: 9.
Kita tidak bicara tentang Ali Sadikin atau Sutiyoso. Kita bicara soal siapa Gubernur Jakarta berikutnya, walaupun pemilihan gubernur langsung pertama di Jakarta baru akan diadakan setahun lagi. Loket pendaftaran baru dibuka lima bulan mendatang, tapi Gubernur Sutiyoso, yang sudah menjabat dua periode, tak bisa dipilih kembali menurut aturan. Maka pantas saja banyak yang bersemangat ingin menggantikannya. Minat harus ditunjukkan mulai sekarang. Maka, tiba-tiba Jakarta penuh ditempeli ribuan poster sejumlah tokoh, seperti wajah dengan banyak tempelan koyo.
Poster itu berisi ajakan menjauhi narkoba, undangan main sepak bola, lomba mancing, adu catur, atau apa saja. Kalau wajah si tokoh lebih dominan ketimbang pesan yang disampaikan, harap maklum, ini memang sekali rengkuh dua-tiga pulau terlampaui. Sambil "silaturahmi", menebar pesan, juga hadiah-hadiah, tak ada yang salah kalau rakyat Jakarta mulai dikenalkan dengan wajah Abang-begitu mungkin yang ada di benak para peminat atau barisan pengusungnya. Sejauh ini belum kedengaran ada seorang Nyak yang ikut meramaikan bursa.
Kampanye terselubung? Mencuri start? Apa pun boleh disebut, tapi siapa yang peduli. Salah seorang yang ikut masuk bursa berkata: mau dibilang mencuri start silakan, didiskualifikasi juga silakan. "Resep" ini sering kita dengar dalam bahasa gaul anak muda Jakarta: so what gitu loh. Toh belum satu pun "calon kandidat"-terpaksa disebut begini karena belum ada calon yang resmi diajukan oleh partai politik-diberi "kartu kuning" oleh komisi pemilihan umum Jakarta.
Karena seperti tak ada larangan, diperkirakan jorjoran poster dan kampanye diam-diam ini akan semakin merajalela. Kalau sudah begitu, hanya mereka yang berdompet tebal atau dibeking suporter kaya-raya saja yang sanggup bertahan. Mereka yang ransel uangnya tipis rasanya hanya akan jadi penggembira.
Beberapa partai sudah tidak lagi rikuh memasukkan "kemampuan dana" sebagai syarat bagi seseorang untuk dicalonkan sebagai Gubernur Jakarta ini. Partai politik memang satu-satunya pintu masuk untuk ikut berlaga berebut jabatan dengan mobil dinas B-1 ini. Calon independen alias calon tanpa partai tidak mendapat kesempatan bertanding, sampai aturan main kelak berubah, entah kapan itu terjadi.
Aturan main sekarang ini menentukan partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 11 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah boleh mengajukan satu pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Artinya, hanya PKS, Partai Demokrat, dan PDIP yang boleh mengajukan paket calon sendiri karena ketiganya memiliki kursi sesuai dengan syarat yang ditetapkan. Partai-partai lain harus bergabung untuk mencapai syarat pengajuan calon ini.
Dengan aturan seperti ini, uang memang jadi kunci untuk mengantar seseorang masuk gelanggang pencalonan. Mereka yang tidak kompeten, tapi punya duit segudang, sangat mungkin menembus pintu masuk partai atau gabungan partai. Sebaliknya, dia yang kapabel, tapi kere dan tidak didukung partai, hanya akan melongo di pinggir arena.
Publiklah yang akan dirugikan oleh sistem ini. Kesempatan publik untuk mendapatkan calon gubernur bibit unggul bisa hilang lantaran "saringan" oleh partai tadi. Selain berharap ada perlakuan yang lebih fair oleh partai, misalnya tidak memakai kemampuan menyetor dana sebagai ukuran mutlak, tak ada lagi yang bisa dilakukan.
Kalau partai mau berpikir jauh ke depan dan memberi kesempatan bagi mereka yang berminat, tanpa memandang kemampuan ekonominya, partai bisa mengadakan konvensi calon gubernur. Mereka yang berminat bisa menyampaikan visinya di ajang itu, kemudian partai menetapkan sejumlah kriteria dan memberi nilai. Mereka dengan nilai tertinggilah yang berhak mewakili partai dalam pemilihan gubernur nanti.
Seharusnya konvensi itu bisa menjadi alat untuk tidak meloloskan dia yang punya jejak rekam buruk di masa lalu, walaupun hartanya segunung. Dia yang berharta, tapi korup di masa lalu, sudah pasti akan mengeruk habis Jakarta untuk mengembalikan "modal" yang telah ia keluarkan. Jakarta harus diselamatkan dari para petualang ini, mereka yang hanya mau cari kaya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo